Friday, April 30, 2010

Arema Untuk Indonesia

Arema bukan hanya untuk orang Malang, tapi Arema adalah untuk IndonesiaAgak aneh memang, seorang yang lahir dan besar di kota bernama Denpasar yang notabene ibukota provinsi Bali namun sejak kecil telah menjadi seorang Aremania. Itu semua tak lepas dari pengaruh tidak langsung kedua orang tua saya yang memang asli malang. Bapak saya lahir dan besar di Dieng Atas sedangkan Ibu saya bertempat

Mengenal Sang Dirigen- Aremania – Yuli Sumpil

Bagi yang belum mengenal Yuli Sumpil, tokoh dalam The Conductors, film dokumenter teranyar karya Andi Bachtiar Yusuf. Berikut ini adalah tulisan Antariksa yang ada di aremania.web.id yang mudah-mudahan bisa memberikan informasi tentang sosok dan keseharian Yuli Sumpil.The Conductors berusaha untuk mengungkap sisi lain dari Addie MS (Twilite Orchestra), AG Sudibyo (Paduan Suara Mahasiswa UI) dan

Drawing Piala Asia 2010

Juara bertahan Irak dan salah satu raksasa Asia, Korea Selatan, akan menjalani pertarungan sengit untuk menjadi yang terbaik di kawasan benua kuning ini menyusul hasil drawing putaran final Piala Asia 2011 di Aspire Dome, Doha, Qatar.Berdasarkan hasil drawing itu, Irak berada di Grup D bersama Korea Utara, Uni Emirat Arab, dan Iran, rival utama mereka, baik di olahraga maupun politik. Sedangkan

Rapor Bagus Hanif Sjahbandi di MU

Jakarta - Berlatih bersama banyak anak-anak dari berbagai negara dunia di sekolah sepakbola Manchester United, Hanif Sjahbandi tak kalah bersaing. Dia malah termasuk yang paling berprestasi di angkatannya.Hanif Sjahbandi mengikuti kelas latihan yang diadakan Manchester United pada pertengahan tahun 2009 lalu. Dia terbang ke Inggris setelah membantu timnas U-13 memenangi AFC U-13 Festival of

Thursday, April 29, 2010

Football of Indonesia

Indonesia, a country with population of 240 million and has a variety of cultures, religions and had many islands. Indonesia in this beloved country a lot of talent and a good football talent. almost all over the country have a great talent who need special coaching. of old, Indonesia is very feared by other nations of Asia with few accomplishments to boast of this nation. players have ever

Wednesday, April 28, 2010

Disderi BW

Lomo Disderi

Saturday, April 24, 2010

Porter Rinjani




Photo ini diambil ketika saya melakukan pendakian ke Rinjanii akhir tahun lalu. untuk pendaki lokal mereka mematok harga 80-100K per hari. sebuah harga yang murah menurut saya dibanding bawaan yang mereka harus bawa. selain itu mereka bukan hanya bertugas membawa barang, tetapi juga mengambil air, memasak, dan petunjuk jalan. Disini saya menyadari betapa sulitnya mencari uang.

Friday, April 23, 2010

80 tahun PSSI

Pada tanggal 19 April 2010 kemarin adalah hari ulang tahun organisasi sepakbola Indonesia, PSSI. Di hari itu PSSI tepat berusia 80 tahun, usia yang terbilang tak lagi muda bagi sebuah organisasi yang telah berdiri sejak era kolonial.

Berbicara mengenai PSSi tentunya tak lepas dari kemajuan sepakbola lokal. Jika boleh jujur rasanya tak ada prestasi yang dapat dibanggakan dari sepakbola lokal, kecuali juara sea games belasan tahun yang lalu. Selebihnya hanya prestasi diperhitungkan dan ditakuti. Sayang tak ada medali untuk predikat yang tersebut.

Kondisi sepakbola lokal yang memprihatinkan tentunya berbanding lurus dengan organisasi induknya, sudah menjadi rahasia umum jika NH sudah dua kali menjadi pesakitan. anehnya hingga detik ini ia tetap berkuasa di Senayan. teguran FIFA dan juga KSN yang digagas oleh SBY hanya menjadi ajang kongkow insan sepakbola lokal, selebihnya NOTHING! lalu pihak suporter di luar sana masih terus bertikai dengan ego tim masing-masing.

PSSI selalu berkelit jika ketidaktersediaan infrasturktur yang memenuhi standar menjadi biang kerok pada prestasi sepakbola lokal. Penulis pun tak sepenuhnya menyalahkan argumen tersebut, karena memang faktanya di Indonesia stadion yang memenuhi standard FIFA dapat dihitung dengan jari. Akan tetapi penulis punya perspekatif sendiri, kondisi prestasi yang anjlok tentunya terkait dengan sistem pembinaan yang diterapkan oleh PSSI

Sejak penulis kecil hingga detik ini PSSI rasanya senang dengan sistem serba instant dengan mengirimkan pemain-pemain muda ke luar negeri. Primavera dan baretti adalah salah satu contoh sistem ini, tentunya dengan prestasi yang nihil. anehnya sistem ini diulangi kembali saat mengirimkan garuda-garuda muda ke Uruguay. Sepakbola bukanlah mie instant yang begitu dimasak lalu dapat dinikmati, sepakbola adalah sistem pembinaan berjenjang dan melalui proses bertahun-tahun.

Lalu bagaimana caranya menciptakan pemain-pemain hadal tanpa perlu ikut training camp di club-club luar negeri? sudah pasti ada pada sistem liga lokal. Liga yang kompetitif tentunya akan menghasilkan pemain-pemain yang siap pakai di timnas tanpa perlu ada perbaikan skill dan fisik saat TC timnas. Namun, seperti yang diketahui liga Indonesia dikelola bak liga tarkam. tak peduli pembinaan karena hanya mementingkan bergulirnya liga dan tentunya ada perputaran uang disana. Pembatasan pemain asing yang dilakukan oleh PSSi dengan menerapkan harus ada pemain Asia di setiap tim, menurut penulis tak ada bedanya dengan sistem terdahulu karena jumlah pemain asing tetap 5 orang. alahkah bijaknya jika PSSI mewajibkan tiap klub untuk memainkan pemain-pemain muda usia 17-23, jumlahnya dapat disesuaikan agar tidak menggangu iklim kompetisi, Jika demikian, Liga yang kompetitif dan juga pembinaan dapat dilakukan secara bersama-sama.

Kemudian ada isu bahwa PSSI ingin membatasi jumlah transfer pemain di liga Indonesia. Penulis rasa hal tersebut justru kontradiktidf dengan keinginan PSSI yang ingin liga lokal memiiki nilai jual. biarkan sistem pasar yang membentuknya, karena menurut sistem ekonomi tentunya kualitas akan menentukan harga. Penulis juga berpendapat bahwa penggunaan APBD pada klub-klub lokal masih dapat diperkenankan selama dana yang dikucurkan dapat dipertanggungjawabkan guna menjamin roda kompetisi lokal. Sepakbola lokal masih belum mampu mencari sponsor yang membiayai keuangan klub, sekalipun ada tak lebih dari 70% total anggaran klub yang dibiayai oleh sponsor. jadi walau bagaimanapun APBD tetap diperlukan, akan tetapi APBD bisa benar-benar dihentikan jika liga lokal telah memiliki nilai jual, entah berap puluh tahun lagi.


Selain pembenahan sistem pembinaan, struktur organisasi dari PSSi juga perlu dilakukan revolusi. sperti yang diketahui jika beberapa orang dalam organ PSSI adalah orang-orang yang juga menajabat manajer, pemilik dsb. tentunya ini akan mengganggu netralitas dari PSSI sendiri. Sudah saatnya PSSI di usia yang telah ke-80 ini, hendaknya melakukan revolusi guna memperbaiki sistem organisasi dan sistem pembinaan sepakbola lokal. Jadikan PSSI yang memiliki citra positif di masyarakat dan bersih dari unsur-unsur KKN. Tentunya kemajuan sepakbola dalam negeri bukan hanya tanggung jawab PSSI semata, akan tetapi semua komponen yang ada di dalamnya, termasuk suporter.


SELAMAT ULANG TAHUN PSSI!

Sunday, April 18, 2010

Danau Segara anak




Banyak yang tidak percaya dengan photo ini, kebanyakan beranggapan photo ini adalah hasil edit photoshop

Saturday, April 17, 2010

Mendaki Gunung = Menghargai hidup



Sedikit sekali orang yang bisa memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.

Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!”

Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!!

Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama.

Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang - orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir. Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!! Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika.

Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.

Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya. Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akan kembali ke urat akar di mana dia hidup.

Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak. Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup.

Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya.

Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah. Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini. Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian. Coba deh….!!!!!!!!

dikutip dari EAN Edisi 24 November – Desember 2002 dengan sedikit perubahan

Lombok




Photo kota lombok dari atas udara.

Friday, April 16, 2010

Teman Sampai Akhir




Yap, teman sampai akhir adalah judul lagu dari band indie hidden message. setiap kali mendengarnya saya selalu teringat almarhum rendi azhari/bejo. sebenarnya sudah lama saya ingin menulis tentangnya, namun saat itu saya belum memiliki kekuatan lebih tuk menulisnya. Setelah hampir 100 hari sejak ia meninggal, saya baru ada sedikit keberanian untuk sekedar berbagi cerita ini kepada orang lain.


"Eh pantat burung" atau "si lohan", ya seperti itulah ia memanggil saya, kedua panggilan tersebut dikarenakan kebiasaan saya selalu buang air besar setiap pergi mendaki gunung dan juga dahulu saya pernah memelihara ikan lohan. tak sedikit pun rasa marah saya jika dipanggil demikian, karena saya telah mengenal sosoknya sejak kelas 5 SD. Ketika kami menamai perkumpulan kami yang mayoritas alumni SDI AL Bayinah dengan nama campsel..

Sekarang sudah lebih dari 100 hari ia meninggalkan kita semua. tapi saya merasa ia masih hidup. terkadang ketika bermain ke rumahnya saya seringkali bertanya tentang keberadaannya. begitu banyak cerita yang saya jalankan dengan ia, mulai dari hal-hal konyol sampai hal serius. Jika bisa memutar waktu saya ingin melewati tahun baru 2010 itu, tahun baru yang paradoks. disaat semua orang bersuka cita di jalan-jalan, tapi saya dan yang lainnya melantunkan surat yasin.

Perjalanan ujung genteng adalah perjalanan terakhir bersamanya. tapi suatu saat saya pasti akan balik lagi, mengenang kekonyolan yang pernah dilakukan disana, naek ojeg sambil mengenakan sarung. Biarlah semua yang telah terjadi menjadi cerita saya untuk anak cucu saya nanti. terpenting ketika ia telah pergi, campsel semakin kompak dan tetap bermain di rumahnya, sekedar menghibur orang seisi rumah.


Beristirahat lah dengan tenang teman, saya dan mereka hanya bisa mendoakan mu.
celotehan mu tetap kami ingat sepanjang masa.



Teman...
kau semangatku...
bangkitkan saatku jatuh
walau ku terhempas kau tak pergi jauh

Slalu...
dijiwaku...
canda tawamu berikan aku
secerca harapan untuk terus maju

Tak akan ada lagi sedih sepi yang kan menghampiri
karna kau ada disini...temani...
ku yakinkan engkau teman sampai mati

Teman...
kaupun tahu...
hidupku hanya untukmu
walau biru langit akan runtuh

Tak akan ada lagi sedih sepi yangkan menghampiri
karna kau ada disini...temani...
ku yakinkan engkau teman sampai mati

(Never leave...)

Dan kini...kaupun telah pergi meninggalkan temanmu ini...
dirimu tak akan terganti walau kini kau tak ada disini...

Thursday, April 15, 2010

there's something can't buy by money






Tak terasa tahun ini memasuki tahun ke-10 menggeluti dunia sepakbola lokal, tentu saja posisi saya bukanlah striker atau defender. Saya lebih senang berada di posisi sebagai suporter, posisi yang menurut saya tak akan pernah bisa pensiun. Pemain, pelatih, atau manajer bisa pensiun. Akan tetapi menjadi suporter adalah pilihan hidup, semoga pilihan yang tepat untuk terus berdiri menyemangati pemain-pemain kebanggaan saya. Bagi saya ini adalah kesenangan yang tak dapat dibeli, ikut tour-tour tandang dengan menyewa beberapa gerbong kereta, mengibarkan scraft di kandang lawan, memasang banner di area musuh, atau sekedar mengacungkan jari tengah ke pihak lawan. On the terraces, we are singing and we scream

Wednesday, April 14, 2010

Tidung Island

Pulau Tidung merupakan pulau terbesar diantara gugusan pulau di Kepulauan Seribu. Salah satu pulau itu diberi nama Pulau Tidung, artinya pulau tempat berlindung. Pulau Tidung adalah pusat Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Pulau ini dihuni oleh lebih dari 3 ribu kepala keluarga. Sebagian besar penduduknya nelayan.

Di sebelah timur pulau ini terdapat Pulau Tidung Kecil. Kini kedua pulau ini tersambung oleh sebuah jembatan kayu yang sangat indah. Kita bisa menyusuri jembatan itu sambil melihat ke bawah laut yang bening dengan pemandangan karang-karang dan ikan yang beraneka warna. Panjang jembatan sekitar 2 kilometer. Di sekitar jembatan terdapat beberapa kerambah ikan dan kepiting milik nelayan setempat.

Meskipun bukan pulau wisata, tetapi pulau ini sangat nyaman untuk dijadikan tempat rekreasi bagi masyarakat yang ingin menikmati suasana pulau dengan biaya murah. Air lautnya yang bening dan hamparan pasir putih di tepi pantainya sangat indah untuk dinikmati. Belum lagi pesona sunrise dan sunset yang indah setiap harinya.

Berangkat
Tarif Bis
Angkot B01 jurusan angke: Grogol – Angke = 3500 (2-4 April 2010)
Abis itu ke dermaga, karena di sini rame bgt, jadi ati2 barang bawaannya.
Dari Muara Angke ke pulau Tidung menggunakan kapal motor dan memakan waktu 3 jam dengan biaya Rp 33.000/org, bisa jg bawa motor dikenain biaya 33 ribu/motor. Sebaiknya penumpang sudah tiba di dermaga pada pukul 07.00 karena jika sudah penuh kapal langsung berangkat. Sementara jadwal keberangkatan dari Muara Cituis(Rawa Saban) Tangerang pukul 11.00 WIB dengan ongkos 20 ribu.
NB: JANGAN PERNAH DUDUK DEKET CEROBONG ASAP..DAN DI BAGIAN BELAKANG KAPAL..GILEE...BERISIK BANGET


Penginapan
Rumah Pak Muridun (Pak Ridun)

CP : Pak Ridun 085710295799
Isi : 2 – 3 kamar
Harga : 3 hari 2 malem = 800 ribu (tanggal 2-4 April 2010)



Rumah Pak Haji Abdul Hamid (Pak Aji Mid)

Isi : 3 kamar tidur, 2 kamar mandi, kipas angin, ruang tamu
CP : Pak Haji Abdul Hamid 085888742129
Harga : 300ribu (10 Okt 2009)

Rumah Pak Asep

Isi : Ada 2 pintu (pintu biru&pintu kuning) masing2 muat 10 orang jadi total 20 orang dah. Ada ruang tamu, tv, kipas angin
Harga : 250rb/rumah (14 Maret 2010)
CP : Pak Asep 085711226253

Makan
Bisa minta masakin yang punya rumah atau juga bisa beli di warung makan. Ada nasi, bakso, mie ayam dan lain-lain.

Sepeda
Bisa tanya ke:
Pak Asep 085711226253
Pak Masrun 081513336223
Harga: 15rb/hari

NB: klo taruh sepedanya mending rombongan, jadi lebih aman, karena suka ketuker sama pengunjung lain.
Snorkling
Alat snorkling bisa tanya ke yang punya rumah, harga 35 rb/set. Snorkeling bisa dilakukan di pulau tidung aja, tapi kalo mau lebih oke, nyewa kapal ke Pulau Karang Air, Karang Beras, dan Semak Daun. Harga : 400rb/kapal+guide (semoga bisa kurang klo kita yg nawar..), CP: Pak Indra 085714266835, dia juga bisa nyediain alat snorkling.

NB: lebih baik pesennya dari hari sebelumnya jadi pagi2 udah bisa disiapin..
Bakar-Bakar
Bakar-bakar bisa minta tolong beliin sama yang punya rumah atau siapa gtu yang suka bantuin kita. Dapet info dari salah satu rombongan, dia minta beliin buat bakar-bakar ngasih uang 100rb, dibeliin ikan sama cumi trus udah disiapin panggangan, arang, bumbu, jadi udah lengkap. Atau klo mau beli ikan sendiri juga bisa kyaknya..
Jumping Bridge, Mancing, dan Taman Bunga


Pulang
Pulang ke Muara Angke dari Pulau Tidung itu pagi2 juga, karena emang kapalnya berangkat jam segitu, kapal berangkat sekitar jam 6 - 7. Tiket dibeli di loket di dermaga.
Perkiraan Biaya (per orang)
Kapal Muara Angke – Tidung PP (2 x 35.000) : 70.000
Penginapan (300.000/10 org) : 30.000
3 kali makan (@ 15 ribu) : 45.000 +
Standar 145.000
Tambahan2
Sewa sepeda : 15.000
Alat snorkling : 35.000
Sewa kapal snorkling (400.000/10 org) : 40.000
Bakar2 : 10.000 +
++ 245.000

Hal2 penting:
-Selalu tanya ke Penduduk lokal/yang punya homestay,segala keperluan kita, biasanya mereka bisa sediakan.
-Waktu trip keliling pulau tidung,jangan lupa bawa air, klo bisa bawa aqua yang 1,5 liter, dijamin haus..
-Waktu snorkling jangan lupa bawa handyplast/obat2an pribadi, karena karangnya kejam juga gan, sering bikin beset.
-JIka bikin jadwal snorkling, usahakan snorkling di pulau tidung sebelum siang, karena ombaknya tidak besar.
-Selalu percaya yah apa yang dikatan Abk kapal tentang cuaca, karena mereka yang mengerti,
-Pak asep itu adalah seorang yang emang di tugasin sebagai koordinator oleh karang taruna di pulau tidung. Nah karena dia adalah koordinator jadi kita harus maklum jika dia gak selalu menyediakan peralatan yang kita mau full, karena dia juga harus bagi2 dengan rombongan lain...
-Oleh karena diatas, ane saranin buat yang mau ke tidung, hubungi pak Ridun aja gan, dia juga bisa sediakan semuanya kok, malah lebih enak.Untuk masalah harga kita masih bisa nego, karena kita langsung ke yang punya jasa, tanpa perantara dulu.sekalian ringanin tugas pak asep.
-Mohon jika datang ke pulau dijaga yah norma2nya, jangan samakan seperti di jakarta yang bebas, yang ane tau jika kita pake pak asep dan kita bikin masalah di tempat kita nginap, bukan kita yang di komplain, tapi pak asepnya..(kasihan gan pak asep).
-Jika sudah jadi mau kesana n sudah booking n tiba2 mau di cancel, please gan beri info ke Pak asep, jangan diem2 aja. Ane sempet diceritain ada rombongan yang udah mesen tempat, tapi gak jadi dateng, dan gak ngabarin sama sekali...kasihan gan pak asep-nya, karena dia itu sebenernya sudah DP rumah duluan, jadi klo gak jadi, uang pak asep yang hilang...(kesihan pak asep gan, orangnya baek, jangan sampe dia kesusahan).
-Jangan lupa bawa Sunblok yang banyak, bener2 geseng dah nanti disana..he3x...

CP lain:
Pak Wardi, yang menyediakan makan, alat snorkeling, penyewaan kapal, sepeda, perlengkapan barbeque, beli ikan, pokoknya apa saja bisa minta tolong ke pak Wardi dengan nomor telp : 085693565464

Sumber: macem2

Saturday, April 10, 2010

Terdampar




Baru tiba dari Gunung Rinjani, Lombok. Numpang istirahat di salah satu minimarket di Kuta.

Wednesday, April 7, 2010

Siluet




Porter Gunung Rinjani ditengah kesibukannya saat memasak di danau segara anak

Estimasi Biaya






kalo Karimun Jawa, udah banyak kok Agen yang menawarkan paket wisata KJ. ada yang cuma 450K, exclude Ongkos PP Jakarta-Jepara.




Alternatif lain adalah Pulau Tidung

Paket Pulau Tidung
• 1 orang = Rp 648.000
• 2 orang = Rp 426 .000 per orang
• 3 orang = Rp 348.000 per orang
• 4 orang = Rp 313.000 per orang
• 5 orang = Rp 288 .000 per orang
• 6 orang = Rp 301.000 per orang
• 7 orang = Rp 286.000 per orang
• 8 orang = Rp 275.000 per orang
• 9 orang = Rp 266.000 per orang
• 10 orang = Rp 259.000 per orang
• 11 orang = Rp 266.000 per orang
• 12 orang = Rp 261.000 per orang
• 13 orang = Rp 256.000 per orang
• 14 orang = Rp 252.000 per orang
• 15 orang = Rp 248.000 per orang
• 16 orang = Rp 262.000 per orang
• 17 orang = Rp 258.000 per orang
• 18 orang = Rp 254.000 per orang
• 19 orang = Rp 251.000 per orang
• 20 orang = Rp 249.000 per orang

Kami akan memberikan pelayanan fasilitas mulai dari transport kapal penyebrangan, konsumsi, dan hiburan dalam 1 paket untuk 2 hari 1 malam antara lain :

1. Transport kapal Pel. Muara Angke – Pulau Tidung PP
2. Penginapan dengan fasilitas 1-4 kamar tidur kamar tidur+tempat tidur, ruang tengah + TV,ruang tamu + kasur matras, dapur, kulkas , kipas angin dan kamar mandi
3. Sepeda per satu orang per hari
4. Peralatan snorkeling (Face swimming goggle, Snorkell, Fin shoes, and Life Jacket) per 1 orang per hari
5. Perahu kecil (Sampan)/hari
6. 3 kali Makan sehari makan /orang (nasi, ayam/ikan, lalapan, sambel) per 1 orang per hari
7. Guide + Snorkeling Instructor
8. Peralatan bakar ikan dan juga ikan yang telah disediakan.




SEKALI LAGI INI PAKET WISATA, SEMUA BIAYA INI BISA LEBIH MURAH JIKA BEBERAPA ITEM DIGANTI DENGAN KW1/KW2 ATAU BAHKAN DIHILANGKAN.

Tuesday, April 6, 2010

Prasasti di Gunung Merbabu

Mandalawangi. Dimana hanya ada aku, kau, dan Tuhan



SEPI SUNYI DI MANDALAWANGI
MATAHARI ENGGAN BERDIRI
RUMPUT PUN TAK MAU MENARI
HANYA ADA BUNGA-BUNGA ABADI MENEMANI
YANG HANYA DIAM MEMBISU
NAMUN TAK LEKANG OLEH WAKTU
DISINI KU TEMUKAN SEBUAH ARTI
ARTI YANG MEMBERIKAN SEBUAH POSISI
DAN POSISI YANG SEMOGA MEMBERIKAN KU JATI DIRI
YANG AKAN KU RESAPI LALU AKU SADARI
TIADA TUHAN SELAIN MU YA ALLAH SWT
DAN AKAN KU SYUKURI SEMUA INI



DITULIS DI PUNCAK MANDALAWANGI 7 DESEMBER 2005

Monday, April 5, 2010

Ultras Amatiran




Ada cerita menarik ketika pertandingan PERSIJA VS PERSIB beberapa minggu yang lalu. Rivalitas kedua tim dan suporter membuat saya berinisiatif membuat suatu hal yang berbeda dengan pertandingan lainnya. saya pun memilih Red hand flare, kembang api yang biasa digunakan pelaut dalam keadaan SOS. Akhirnya diputuskan untuk patungan membelinya, maklum lumayan mahal 100K untuk nyala sekitar 7 menitan.

Hari yang dinanti pun tiba, penjagaan super ketat di areal GBK sempat memusingkan kami untuk membawanya kedalam stadion. akhirnya teman saya si Jani memberanikan membawanya kedalam dengan cara menyelipkannya di dalam celana panjangnya. terlihat raut wajahnya yang pucat ketakutan ketika melewati hadangan aparat dan panpel saat sedang dilakukan pemeriksaan.

Red hand flare pun lolos kedalam stadion, saya bersama teman-teman sepakat menyalakannya di menit 80an. ketika aliyudin mampu menyamakan kedudukan menjadi 1-1 kami berniat menyalakannya, akan tetapi tak satupun dari kami yang mengerti cara menyalakannya. sekitar 10 menit berdebat akhirnya red hand flare itu pun berhasil dinyalakan. tetapi yang membuat konyol adalah red hand flare itu nyala ketika Gonzales mencetak gol lewat tendangan penalti yang mengubah skor menjadi 2-1 untuk Persib. alhasil semua mata tertuju kepada kami, menganggap kami adalah bobotoh/viking. Ehmm..memang ada baiknya bertanya pada ahlinya sebelum melakukan sesuatu yang kita belum tahu. Syukur Alhamdulillah persija mampu menyamakan skor menjadi 2-2 lewat gol Abanda Herman di menit-menit akhir. Utras amatiran pun pulang ke rumah masing-masing membawa malu dan juga haru..hehehe

5 Aces Tour 2009



Video Not available ketika mengadakan konser 5 aces tour di hanggar teras Pancoran, Jakarta.
band pembuka pada konser tersebut seperti Kuro, Speak Up, No label, Konflik, dan band melodic dari Semarang Sextoy. Boleh dibilang konser tersebut seperti menjadi ajang reuni band-band melodic punk di Indonesia. Maklum semuanya band oldskul..

Straight Edge





Entah mengapa gue jadi pengen nulis tentang pergerakan straight edge. mungkin karena abis dengerin band-band hardcore yang bisa gue bilang legend di Indonesia atau karena otak gue udah terlalu singit mikirin magang dan skripsi? entahlah..

straight edge atau disingkat sxe merupakan movement yang tumbuh dan berkembang di amerika tahun 1970 yang menjadi awal mula pergerakan ini. klo gak salah itu merupakan salah satu judul minor threat (klo gak salah ye). entah mengapa pergerakan ini lekat dengan aliran musik hardcore. mungkin karena awal dari gerakan ini ada pada genre HC.

inti dari sxe adalah suatu gerakan yang tidak merokok, tattoo, pierching, seks bebas, drugs abuse dll. klo gue simpulkan inti dari sxe sama dengan yang agama Islam larang.
mereka yang menganut sxe dapat dilihat dari nama yang diselipkan huruf x, misalnya xantox (klo ngerokok kadang2 itu sxe gak ya? hahaha)

band2 yg menganut sxe juga menyelipkan huruf x dinama band mereka. meskipun gak absolut sih.
tapi itu merupakan tanda buat mereka sebagai sxe.
bisa dibilang band2 kaya gini udah jarang gue temuin, mungkin era 2003-2005 masih gue temuin pas gigs band penganut sxe.

terlepas dari sombong atau apalah, tak salahnya kita apresiasi mereka dengan pergerakannya.
tapi menurut gue gak harus punya band hardcore ataupun menyelipkan huruf x di nama kita, karena islam juga telah mengajarkan kita bahwa hal-hal yang bagi penganut sxe tabu dilakukan juga dilarang dalam islam.
jadi jika kita telah menjalankan islam dengan baik sama aja kaya sxe.

sama halnya juga dengan budaya casuals ala hooligans inggris. gak perlu pake fred perry, ben sherman dl untuk menjadi hooligans casuals. karena semua itu bukan pada seragam yang kita kenakan tapi jiwa kita teman.

ketika folk dibawakan dengan sederhana namun berisi




Yap, sepertinya duo ini sudah tak asing lagi. Lagu pertama yang saya dengarkan adalah living with pirates sekitar 1 tahun yang lalu. awalnya saya kurang tertarik dengan endah n rhesa, saya lebih menyukai the tress n the wild yang saya nilai lebih memiliki kekuatan pada gitar yang variatif. tetapi semua berubah ketika saya mendengarkan 1 album penuh dari endah n rhesa. duo ini memiliki kekuatan di lirik, sesuatu yang memang harus dimiliki oleh band-band balada/folk.

I love you but it’s not so easy to make you here with me
I wanna touch and hold you forever but you’re still in my dream
And I can’t stand to wait your love is coming to my life
But I still have a time to break a silence

When you love someone just be brave to say
That you want him to be with you
When you hold your love don’t ever let him go
Or you will loose your chance to make your dream come true


ini potongan lirik dari when you love someone, sederhana memang tetapi sangat substansial. kabarnya endah n rhesa sedang menggarap album barunya. kita tunggu saja semoga album barunya jauh lebih keren dari album sebelumnya.



Peninggalan yang dilupakan di tengah pembangunan Jakarta.

Komersialisasi berkedok nilai-nilai konservasi!

Baru-baru ini Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) mengeluarkan peraturan
Nomor: SK. 93/11-TU/1/2009.
berikut salah satu isi dari peraturan tersebut;

TARIF PEMANDUAN WISATA
TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

Tujuan - Biaya (Rp)
I. WISATAWAN MANCANEGARA
Cibodas – Cibeureum Waterfall 200.000/jalan
Cibodas – Hot Water Spring 275.000/jalan
Cibodas – Gede – Cibodas/Putri 400.000/jalan
Cibodas – Pangrango – Cibodas 450.000/jalan
Cibodas – Pangrango – Gede – Cibodas/Putri 475.000/jalan
Bird Watching 500.000/jalan

II. WISATAWAN DOMESTIK
Cibodas – Cibeureum Waterfall 175.000/jalan
Cibodas – Hot Water Spring 225.000/jalan
Cibodas – Gede – Cibodas/Putri 325.000/jalan
Cibodas – Pangrango – Cibodas 375.000/jalan
Cibodas – Pangrango – Gede – Cibodas/Putri 400.000/jalan

III. PORTER (MANCANEGARA DAN DOMESTIK)
Cibodas – Cibeureum Waterfall 150.000/jalan
Cibodas – Hot Water Spring 200.000/jalan
Cibodas – Gede – Cibodas/Putri 275.000/jalan
Cibodas – Pangrango – Cibodas 300.000/jalan
Cibodas – Pangrango – Gede – Cibodas/Putri 350.000/jalan

Catatan :
Untuk pendakian lebih dari 2 hari 1 malam dikenakan biaya tambahan sebesar
Rp. 100.000,-


Kaget dan heran yang saya rasakan ketika membaca peraturan tersebut sekitar 2 bulan yang lalu.
pihak TNGP berdalih pemberlakuan peraturan ini adalah untuk membatasi para pendaki yang memang berpredikat sebagai gunung dengan pendaki terbanyak, sekitar 50.000/tahun. pembatasan tersebut agar mengembalikan kondisi TNGP kebentuk yang lebih asri dan bersih. masih menurut pihak TNGP kenaikan tersebut sebagai uapay untuk mengcover biaya-biaya yang dikeluarkan oleh TNGP.

memang saya akui kondisi TNGP sangat parah bahkan kondisi mata airnya pun sangat tidak layak konsumsi. tetapi bukan berarti melegalkan tindakan yang dilakukan oleh perhutani. masih banyak cara lebih bijak yang mendepankan nilai-nilai konservasi, misalnya meminimalisasi jumalh pendaki, saya sudah sepakat dengan sistem boked yang telah diterapkan beberapaj tahun terakhir serta pembatasan julah pendaki. tetapi mungkin sisi inilah yang perlu diperketat lagi ketimbang menaikan tarif masuk TNGP. jika biasanya 600 org/hari mungkin bisa dibatasi hingga 100org/hari. melakukan pelarangan bungkusan makanan dan minuman dan menaruhnya ditempat yang sekiranya tak mungkin dibuang oleh pendaki. serta melakukan pengawasan ekstra ketat oleh TNGP kepada semua pendaki.

menurut saya hal-hal yang seperti itulah yang harus menjadi fokus perhatian TNGP didalam mengembalikan kondisi TNGP ketimbang menaikan tarif yang tidak jelas atas dasar apa perhitungan sebesar itu. belum lagi peraturan tersebut memiliki implikasi negatif, salah satunya adalah melakukan pembukaan jalur baru yang ilegal guna menghindar dari petugas TNGP. hal tersebut justru mejadi masalah baru bagi TNGP. selain itu, bila tetap dipertahankan mungkin orang akan enggan mendaki TNGP, karena dengan budget +/- 500 ribu sekiranya lebih baik mendaki semeru ketimbang TNGP.

pihak TNGP berdalih biaya tersebut guna mengcover biaya yg dilkeluarkan oleh TNGP, menurut saya aneh! TNGP merupakan institusi dibawah departemen sehingga pasti ada alokasi dana untuk semua taman nasional di Indonesia. banyak di kalangan pendaki yang menuding ini merupakan bentuk "deal" antara warga sekitar dengan pihak TNGP sehingga menerapkan aturan aneh ini, ataupun ada isu untuk membangun semacam kereta gantung hingga puncak gede. WTF!!!!

terlepas dari tujuan yang sebenarnya penerapan peraturan tersebut, sepertinya kita perlu sadari bahwa Sang Pencipta tak pernah mengkomersialisasi ciptaan-Nya, sehingga siapapun berhak untuk menikmatinya. akhirnya semua berpulang pada pribadi masing-masing untuk menjaga alam ini sebagai warisan untuk anak dan cucu kita kelak.


ALAM BUKAN UNTUK DITAKLUKAN TETAPI ALAM ADALAH TEMPAT BELAJAR MENGENAL HIDUP SERTA PENCIPTANYA!!

Aku Yakin, Aku Bisa


Pagi itu udaranya masih sangat menusuk badan ku, dititik 3000an mdpl di pukul 02.00 dini hari. Disaat orang lain masih tidur disela kencangnya deru angin plawangan sembalun dan letusan gunung berapi baru jari, aku memulai menggapai titik itu, 3726 mdpl.

Selangkah demi selangkah menyusuri dingin dan gelapnya rinjani menyambut pagi, sorotan headlamp ku terus menemani melewati tanjakan-tanjakan hingga tiba ku dipunggungan, sejauh itu normal dan terkendali, ku lihat di depan punggungan pasir masih amat gelap dan dibawah ku lihat titik-titik senter pendaki lain yang mulai mendaki ke puncak, tersadar jika aku kelompok pertama yang menuju 3726 mdpl.

Kiri ku lihat beberapa bunga abadi tumbuh dengan ukuran yang lebih besar ketimbang yang pernah ku lihat di pulau Jawa, kanan terbentang danau segara anak dengan gunung api baru jari ditengahnya, dikejauhan kulihat laut yang memisahkan pulau lombok dengan pulau Bali dengan puncak agung yang menyembul diantara awan. Target untuk melihat sang surya terbit di puncak tak kesampaian, karena matahari sudah mulai bersinar.

Hampir 4 jam ku terus mendaki jalan berpasir yang terus menggerogoti fisik ku, setiap hela nafas terasa makin berat hingga tiba ku dititik penuh keputusasaan, saat dimana aku merasa amat menyesal pergi sejauh ini hanya untuk bermain-main dengan nyawa. Lalu ku duduk sejenak sambil melihat pendaki manca yang tadinya jauh dibelakang melewati diriku. Aku tenggelam dalam kepasrahan, hingga terucap mungkinkah ajalku di jalur menuju puncak ini? Tersadar ku saat kakak ku terus menyemangati ku tuk menggapai 3726 mdpl.

Lalu ku bulatkan tekad, ku kumpulkan lagi semangat-semangat itu. Tak lama berselang ku kembali drop. Duduk kembali melihat bentangan awan yang terasa amat dekat. Aku mulai menangis atas kondisi itu, hal yang tak pernah aku lakukan setiap mendaki selama ini. Aku juga tak tahu kenapa aku sempat sejenak menangis entah takut gagal menggapai 3726 mdpl atau karena aku menyadari kebodohanku tak mempersiapkan fisk dan mental dengan matang.

Mental ku selalu naik turun hingga tiba yang aku rasa merupakan titik balik, aku merasa ada energi yang masuk kedalam diri kemudian membangkitkan ku untuk kembali mulai berjalan. Padahal ku akui secara fisik aku sudah habis dan mungkin berbahaya bila ku lanjutkan, tetapi selalu ku ucapkan bahwa aku pasti dan harus bisa didalam hati terus dan terus. Hingga ku tiba di ujung jalan dan aku tersadar itu adalah 3726 mdpl! Meski tak sampai 5 menit aku di puncak akibat cuaca yang kurang baik tetapi aku mampu menggapainya dan mengalahkan semua keterbatasan yang ku miliki.

Sama seperti pendakian lainnya, satu hal yang pasti ada saja nilai signifikan yang aku bawa pulang ke rumah, nilai yang aku dapatkan karena aku lakukan sendiri bukan karena berteori semata. ketika kita memiliki tekad dan semangat yang kuat, maka setiap keterbatasan dalam diri mampu dikalahkan sehingga apa yang kita inginkan dapat tercapai. Maka kekuatan pikiran kita dapat mengalahkan kesulitan-kesulitan yang ada pada hidup jika kita terus berpikir positif dan selalu tanamkan bahwa jika kita pasti bisa.



::untuk semua kesulitan kita dan kita yakin bisa melewatinya dengan baik::

Soe Hok Gie, Sekali Lagi....


Now, i see the secret of the making of the persons
It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth

Sebuah petikan dari walt whitman yang begitu sering diucapkan oleh Soe Hok Gie, termasuk dalam buku Soe Hok Gie, Sekali lagi...Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Buku yang benar-benar memberikan sudut pandang yang lebih luas tentang sosok Gie karena buku ini merupakan pandangan sejumlah orang baik yang mengenal Soe Hok Gie atau mereka yang hidup di zaman setelah ia wafat di Mahameru, tepat 40 Tahun yang lalu. Buku ini tentu berbeda dengan buku-buku sebelumnya, baik Catatan Seorang Demonstran ataupun Lentera Merah yang merupakan pemikiran Gie.

Buku ini seperti ingin menjelaskan sosok gie secara utuh, bukan seperti yang dahulu saya tahu. Pertama kali mengenal sosoknya adalah ketika saya melihat kaos bergambarkan siluet muka Gie, waktu itu tak ada yang saya tahu tentangnya. Film Gie karya Riri Riza pun hanya memberikan saya sedikit deskripsi tentangnya, seorang pecinta alam dan kritikus tajam pemerintah tanpa tahu lebih dalam sosoknya. Setidaknya, setelah membaca buku tersebut menambah wawasan saya tentangnya.

Pecinta Alam sejati, mungkin itu yang dapat saya sematkan padanya. Pandangannya tentang filosofi mendaki gunung sangat mendasar tapi subtansial. Menurutnya tak mungkin nasionalisme tumbuh jika tak mengenal objeknya secara langsung, salah satu caranya ialah dengan mendaki gunung. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, apakah pernyataan tersebut seperti tameng sebuah hobi? Saya rasa tidak, karena saya pun merasakan apa yang dimaksud pernyataan gie. Selain itu, Gie adalah sosok seorang pembuat kritik pedas kepada siapapun, tentu banyak dari kita yang sepakat akan hal ini. Era Gie, 1960-an adalah era dimana kondisi politik mengalami instabilitas. Perang NASAKOM dengan PANCASILAIS telah membuat kondisi negara semakin parah. Kita pun tahu bahwa kepemimpinan Bung Karno tumbang setelah tragedi gestapu, ia pula yang turut menumbangkan sang Proklamator dari kursinya dan berganti dengan era Soeharto. Ketika teman-teman seperjuangan dalam menurunkan Bung Karno lebih memilih untuk duduk di bangku pemerintahan, ia justru lebih memilih sebagai orang yang berada diluar pemerintahan dan tetap kritis kepada pemerintah. Itu sebabnya ia terkenal sangat idealis, idealis sejauh-jauhnya.

Gie adalah sosok yang unik menurut saya, hobi dan pandangan-pandangnnya yang kritis seperti terbalik dengan kehidupan asmaranya, ia sosok introvert. Mungkin itu sebabnya, hingga akhir hayatnya ia masih sendiri. Slogan buku, pesta, dan cinta memang benar-benar tepat untuknya. Ia pemikir, petualang, dan memiliki perasaan mengenai cinta, meski di buku-buku yang pernah saya baca tak pernah mengumbar secara jelas apakah ia berpacaran atau sekedar memendam perasaan suka pada lawan jenis. Rasanya sulit menemukan sosok penggati gie hingga saat ini, entahlah. Tetapi satu hal yang pasti, berkat sosoknya saya seperti memiliki cara yang lebih luas dalam hidup, dalam menilai sesuatu secara lebih komprehensif. Ketika disekitar pragmatis dan cenderung egois ia tetap idealis sejati dan lebih memilih mendaki gunung untuk merenung atas apa yang telah diperbuatnya. Mengenalnya meski lewat buku dan artikel membuat saya tak pernah menyesal menghabiskan uang untuk mendaki gunung, mencari sedikit pelajaran hidup dan pengalaman yang tak akan saya dapatkan di bangku akademis.

Akhirnya, biarlah sosoknya tenang di Mahameru, puncak raja-raja Jawa. Sekarang tinggal bagaimana kita sebagai generasi berpuluh-puluh tahun setelahnya untuk benar-benar mewujudkan apa yang menjadi pemikirannya. Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang bermartabat, negara yang mengedepankan nilai-nilai keadilan serta menjunjung HAM. Mungkin benar adanya hidup bukan hanya spektrum hitam dan putih saja, selalu ada ruang abu-abu ditengahnya, jalan bagi mereka yang pragmatis dan egois. Beruntunglah ia mati muda karena telah memberikan sumbangsih yang amat besar. Semoga kita bukan hanya generasi pesta dan cinta saja! THE ANGRY YOUNG MEN!

Camerado, I give you my hand
I give you my love more precious than money
I give you myself before preaching or law
Will you give me yourself?
Will you come travel with me?
Shall we stick by each other
As long as we live?

2009-2010


Tak terasa waktu terus berputar dengan cepatnya, hingga dalam hitungan jam akan berganti lembaran baru, lembaran 2010. Senang dan sedih berpadu menjadi irama padu sebuah lakon bernama kehidupan.
lakon yang selalu berputar bak roda pedati. Atas membuat bangga setengah mati dan bawah membuat menyesal serta mengeluh ketidakadilan lakon kepada Tuhan, sadar atau tidak itu ada dan nyata dalam hidup ini.

lembaran tersebut diganti bukan dengan uang yang keluar pecuma untuk sebauh kenistaan, lembaran itu diganti dengan melihat terlebih dahulu di lembaran sebelumnya dan membuat hal-hal yang akan diisi di lembaran berikutnya. semua lembaran itu menjadi satu kesatuan, akan lebih menarik jika dibaca tiap bait kata dalam tiap lembarnya. semua akan menjadi padanan sempurna yang lengkap dalam lakon sementara kehidupan, terlepas dari atas atau bawahnya roda pedati.

Satu hal yang pasti, Sang Pencipta hanya memberikan lembaran kosong dengan alur cerita yang telah ditentukan dan sang lakonlah yang memerankannya sebagai aktor-aktor kehidupan. akhir cerita akan sangat ditentukan sang aktor.



* semoga kita dapat mengisi lembaran baru dengan sesuatu yang lebih bernilai dan bermanfaat bagi kehdiupan dunia dan akhirat kita.

CATPER UJUNG KULON

Kamis pagi itu tak ada bedanya dengan pagi sebelumnya, tetapi yang membedakan adalah saya harus mengeluarkan pakaian untuk dimasukkan ke dalam daypack karena hari itu saya akan berpetualang untuk pertama kalinya dengan teman-teman kampus. Tak terlalu banyak yang saya persiapkan, berbeda jika saya mendaki gunung, tak ubahnya seperti menggendong kulkas. Ringkas dan ramping begitu nampak pada daypack saya. Hehehe....


Pukul 09.26, setelah saling menunggu di halte stasiun UI saya, Fadil, Ibek, Pai, Ajul, Nci, Afra, Dwi, Arie, Ao, dan Diaz segera menuju ke terminal kampung rambutan. Sesampainya disana menunggu troopers lainnya Sita, Udien, Dita, Erdita, dan Sevha, dan Pepito. Jam tangan saya menunjukkan pukul 10.50 saat bus perlahan-lahan meninggalkan terminal Kp. Rambutan menuju terminal pakupatan kota Serang. Sekitar 2 jam bus membelah tol Jakarta-Merak dan sampailah di Pakupatan, disana kami manfaatkan untuk Ishoma. Setelah itu kami bersiap menuju Paniis di Desa Taman Jaya, Ujung Kulon. Kendaraan yang kami tumpangi adalah jenis Elf, Kendaraan yang hampir selalu menemani saya jika berpergian untuk berpetualang. Saling tindih menemani saya menuju Paniis, saling tukar posisi harus dilakukan guna menghilangkan pegal yang teramat akut.

Sekitar 6 jam kendaraan super “edan” harus melewati jalan yang tak kalah "edannya", berbukit-bukit, aspal rusak, hingga jalan berbatu yang menurut penduduk lokal tak pernah diaspal mungkin sejak badak bercula dua berubah menjadi satu cula..haha
Sepanjang perjalanan selalu disuguhi kondisi medan yang berbeda, dari kota, kampung, hutan, sampai pantai. Benar-benar sangat menghibur mata. Tak tahan dengan kondisi jalan yang semakin rusak, saya, fadil dan ajul memutuskan untuk naik di atap mobil, beberapa kali saya harus tiarap diatap guna menghindari batang pohon dan kabel. Salut lah dengan perjuangan sang sopir, Bapak Sakoy yang setiap hari memacu Elfnya melewati jalan nan edan. UK KERAS BUNG! haha..

Kendaraan ini mengingatkan saya waktu pergi ke Ujung Genteng pertengahan tahun, namun bedanya waktu yang ditempuh hanya 4 jam saja. Entah mengapa sepanjang perjalanan menuju Paniis sama seperti saya pergi ke daerah terpencil lainnya, pikiran saya selalu berputar-putar tentang bagaimana mobilitas warga lokal?, siapa yang membangun jalan?, siapa yang pertama kali membuka jalur? Sampai Ada saja orang yang mau tinggal di tempat terpencil seperti ini? Semua pikiran itu saya coba patahkan dengan sudut pandang sebagai penduduk lokal dan bukan sebagai orang kota yang hidupnya serba praktis. Mungkin bagi mereka hidup seperti itu dimana kendaraan sulit, infrastrukstur ala kadarnya adalah hal biasa karena bagi mereka standarnya memang demikian. satu lagi pelajaran dapat saya tarik, jangan menilai secara komparatif sesuatu yang memiliki standard berbeda.

Pukul 19.35 kendaraan elf tiba di penginapan, tepatnya di rumah keluarga Bapak Wahyu. Sambutan keluarganya begitu hangat, belum lagi makanannya. Tanpa basa-basi semua menjadi kalap dengan makanan Bu Wahyu. Selesai dengan urusan perut, rombongan dipecah menjadi dua, kaum Adam di rumah Bapak Wahyu dan Kaum Hawa menginap di rumah yang tidak terlalu jauh jaraknya dari tempat menginap pria-pria. tiba saatnya membersihkan badan, semua harus mengantri untuk mendapatkan jatah mandi.

Malam pun tak terasa semakin larut, disaat para troopers wanita asyik di penginapan, para pria memutuskan untuk ke pantai, belum sampai ke pantai gerombolan anjing berdatangan dan mengonggong dengan kerasnya, mungkin ini nasib memiliki tampang perampok.haha
Aakhirnya diputuskan untuk sekedar berbincang di teras rumah Bapak Wahyu, berbicara NGALOR NGIDUL tak ada juntrungan ditemani longlongan doggie menemani malam itu hingga rasa kantuk menyergap dan diputuskan untuk tidur...

Clara Sumarwati, Fakta atau Bualan?


ini kisah tentang wanita pertama asal Indonesia Clara Sumarwati yang berhasil mencapai puncak gunung tertinggi di dunia Guunung Everest. Cerita ini ditulis oleh Ambar di blognya. Yang menarik Ambar menghubungkan masalah ini dengan Prabowo dan TNI Angkatan Darat. Ini dia ulasannya.


Empat tahun lalu ketika saya mulai tersedot tentang sejarah Everest, sebuah nama terlintas. Clara Sumarwati.
Clara who?


Itu adalah reaksi saya ditengah upaya mencari berita tentang ‘perlombaan’ tim wanita Asia Tenggara untuk menaklukan Everest. Saat itu 2006, tim putri dari Singapura sedang dalam proses kampanye lewat media massa. Target mereka jelas sekali, yakni menjadi tim putri Asteng pertama yang menancapkan bendera di atap dunia.



Tim Putri Indonesia kemudian muncul sebagai tandingan. Dalam suasana hingar bingar dan kompetisi yang ketat dengan negara tetangga, sungguh ini dalam posisi yang tidak nyaman. Tsunami dan gempa di Aceh memakan ratusan ribu jiwa, terutama di kepemimpinan SBY yang seumuran jagung. Indonesia dalam carut marut.


Kaitan politik, bencana alam dan kegiatan adventur ternyata saling berhubungan. Bukankah keputusan mengirim tim putra Indonesia ke Everest di tahun 1997 adalah juga politik dengan alasan nasionalisme? Bahwa seorang Indonesia harus lebih dulu menjejak puncak dunia sebelum negara tetangga, dengan alasan apapun, dengan taruhan nyawa sekalipun.


Disinilah kisah Clara mulai masuk panggung adventur dan politik. Terlahir 6 Juli 1967 sebagai anak ke 6 dari delapan anak Marcus Mariun dan Ana Suwarti, Clara menghabiskan masa kecil di Jogya hingga kuliah di Universitas Atmajaya jurusan Psikologi Pendidikan. Di tahun 1991 ia bergabung dengan tim pendaki Indonesia untuk menaklukan Annapurna IV yang mengantarkan rekannya Aryati menjadi wanita Asia pertama di puncaknya. Pada Januari 1993, Clara bersama tiga perempuan Indonesia menaklukan Aconcagua, salah satu puncak 7summit di Amerika Latin.

Clara bersama tim PPGAD Perkumpulan Pendaki Gunung Angkatan Darat –diduga sebagai sempalan militer untuk menandingi tim militer Kopassus/Wanadri melakukan ekspedisi low profile di tahun 1996. Menurut Gatra, tim ini hanya mampu mencapai ketinggian 7000m di punggungan South Col (gigir atau sadel gunung antara Everest and Lhotse rute pendakian dari Nepal).


Walau gagal, Clara berusaha menggalang dana untuk melakukan upaya kedua menancapkan merah putih pada 17 Agustus 1995 [3] yakni tepat 50 tahun kemerdekaan Indonesia. Clara kemudian mendapat kepastian bahwa upayanya akan dibantu oleh pemerintah yang diwakili Panitia Ulang Tahun Emas Kemerdekaan Republik Indonesia yang saat itu dibawah Sekretariat Negara.


Clara terpaksa mengundurkan ekspedisinya bulan Juli 1996 setelah memperoleh kepastian dana (yang saya sinyalir adalah upaya orang tententu untuk ‘mengganggu’ Prabowo mengirim anak buahnya menjadi orang pertama di puncak dunia ie membuat ia menjadi pahlawan).


Perlu dicatat, Gatra sendiri menurunkan berita tanpa mengaitkan dengan kondisi politik karena begitu sensitivenya situasi era menjelang berakhirnya Orde Baru. (kerusuhan Mei, desas-desus kup oleh Prabowo dan militer, mundurnya Suharto hingga chaos-nya situasi politik di tanah air). Tetapi sinyalemen itu diungkapkan Clara dengan jelas terutama kisah tentang adanya upaya dari pihak Prabowo dan militer untuk membuatnya membatalkan ekspedisi.

Upaya untuk menghentikan Clara dimulai dari ringan hingga berat. Terakhir saya kontak, ia tidak mau menyebutkan secara detail. Tetapi bagi yang akrab dengan suasana represif di akhir 90an tentu bisa memahami. Saya sendiri ketika mendengar versinya hanya bisa bilang WOW!


Butuh setengah jam untuk mencerna. Saya mencoba untuk tidak menuduhnya pembohong ataupun tukang ngarang. Sungguh ceritanya adalah kombinasi antara kulminasi terror dan paranoia, imanjinasi dan suspense. Saya berusaha meyakinkannya bahwa ketakutan dan kekhawatiran itu sudah tidak ada. Sejarah menunjukkan Prabowo tidak menjadi pengganti Suharto. Dan ia terpaksa keluar Indonesia untuk menghindari balas dendam politik.


Pada 27 Agustus 1996 [5]pukul 1600 ditemani empat orang Sherpa (Dhawa, Ghalzen Kecil, dan Kaji,), Clara mencapai puncak Everest . Ia berdoa dengan 50X salam Maria, menyanyikan Indonesia Raya sambil memegang bendera merah putih. Berpose di puncak dengan majalah Time bersampul Presiden Suharto.


Kabar tentang seorang Indonesia berhasil mendahului tim ‘resmi’ menaklukan Everest tentu diterima dengan ketidak percayaan. Sebagian besar pendaki meyakini bahwa Clara hanyalah membual, berimajinasi. Terutama ia tidak bisa memberikan bukti kuat. Salah satu bukti adalah photo dirinya yang berada di puncak Everest. Tentu saja kecemburuan dan faktor sexist berperan disini. Atmosfer adventur Indonesia dalam kompetisi individual yang kuat membuat klaim Clara seperti cerita dongeng. Bukan saja kecemburuan dari pendaki laki-laki tetapi muncul pula nada ketidak percayaan bahkan dari rekan pendaki perempuan.


Clara sendiri setiba di tanah air kemudian menghadap Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia yang saat itu diketuai Wismoyo Arismunandar. Dalam tahun yang sama ia menerima Bintang Nararya yang dikeluarkan oleh Sekneg dengan tandatangan Presiden RI.


Yang membuat ragu apakah Clara berhasil mencapai puncak adalah tidak adanya catatan resmi. Sejak awal tahun 50an ekspedisi pendakian Everest baik sisi Nepal dan Tibet dicatat oleh seorang jurnalis perempuan dari Chicago Amerika bernama Elizabeth Hawley. Meski bukan pendaki, Miss Hawley dikenal dengan catatan kronikel akurat mengenai ekspedisi, baik yang sukses maupun gagal. Berhasil mencapai puncak atau tewas. Miss Hawley ini melakukan wawancara langsung pada pendaki dan Sherpa, melakukan kros cek, bahkan meminta konfirmasi deskripsi tempat dan suasana.


Statistik Miss Hawley kemudian dikompilasi berdasarkan kronologis tahun pendakian dan dipandang sebagai catatan paling akurat dan bisa dipercaya. Ketika era internet medio akhir tahun 90an masih samar dan tidak punya kredibilitas, mountainzone.com adalah satu2nya sumber yang kemudian mengutip data dari Miss Hawley sebelum ditayangkan di internet worldwide. Di tahun 2004, databases kompilasinya kemudian dibuat dalam bentuk CD (Visual Vox Pro) dan buku bersama Richard Salisbury dalam himalayandatabase.com


Menariknya, Miss Hawley tidak menyebut Clara Sumarwati dalam statistik Himalayan Databases. Orang Indonesia yang tercatat adalah Mr. Asmujino mencapai puncak 11.10.1996 melewati rute South E. Ridge dalam nomor urut 58 dan Mr. Misrin sampai puncak 26.4.1997 lewat South E. Ridge dengan nomor urut 68. Walaupun dalam database disebutkan Misirin masuk tim Korea tetapi kemungkinan ini adalah konfirmasi mencapai puncak dikabarkan oleh tim Korea atau proses konfirmasi klaim Misrin dianggap positif oleh Miss Hawley pada tanggal itu lewat kros cek dengan anggota tim Korea.


Namun dalam referensi everesthistory.com Clara Sumarwati adalah pendaki Everest ke 88 dari Indonesia mencapai puncak pada 26 September 1996 melewati rute NC-NE Ridge (North Col-North East Ridge atau gigir Timur Laut). Ini dikuatkan dengan keterangan laporan Gatra bahwa dua buku : Everest karya Walt Unsworth (1999), dan Everest: Expedition to the Ultimate karya Reinhold Messner (1999) mencantumkan nama Clara sebagai pendaki Everest Indonesia pertama.



Kemungkinan tidak tercatatnya Clara karena masalah ijin/climbing permits. Seperti diketahui Everest menjadi komoditi pemerintah Nepal dan China untuk mengeruk keuntungan finansial sebanyak mungkin. Fee untuk mendaki di Everest bisa mencapai $70,000 untuk tim beranggotakan 10 orang. Karena mahal inilah, pendaki banyak yang mencoba di luar musim mendaki (April-Juni) ataupun menggabungkan diri dengan anggota tim lain tanpa keterikatan kebangsaan.


Keraguan tentang keberhasilan Clara ini makin menguat ketika sosoknya menjadi misterius. Ia dikenal tidak ramah pada media ataupun orang yang tidak mempercayai prestasinya. Ia juga menjadi begitu paranoia akan adanya orang-orang yang (masih) berusaha menghentikannya ataupun membungkam mulutnya. Ini juga menjelaskan kenapa keberhasilan tim Kopassus/Wanadri diberitakan besar-besaran ketimbang kesuksesan Clara yang cenderung ‘ditiadakan’.


Dalam korespondensi, saya menangkap ketakutan itu, walaupun saya coba meyakinkannya bahwa kondisi politik tidaklah seperti dekade silam. Agaknya trauma dan paranoia mengambil alih kesadarannya. Luka dalam itu, yang entah apakah kita bisa memakluminya atau tidak telah meninggalkan jejak mendalam. Kekecewaan dan keputusasaannya untuk meyakinkan orang lain nampaknya membawa pada tepi kesadaran.


Seorang teman berkomentar tentang Clara. Ia seperti John Forbes Nash, seorang ahli matematika yang berjuang puluhan tahun menghadapi schizophrenia dalam film Beautiful Mind. Seorang yang menderita penyakit ini dituduh publik sebagai orang gila. Ia bisa saja ngoceh ngga karuan, ataupun hidup dalam dunianya sendiri. Batas antara jenius dan madness terkadang hanya benang tipis. Tetapi bukan berarti seorang penderita adalah pembohong. Saya hanya ingin menegaskan bahwa Clara belum tentu seorang pembual. Sebagai orang berpikiran terbuka, saya menyadari bahwa mungkin ia mencapai puncak, dan mungkin juga tidak. Tapi jikalaupun iya, tidak akan bisa menghapus sejarah bahwa Clara-lah orang Indonesia pertama yang mencapai puncak Everest.


Bagaimanapun Clara adalah seorang pahlawan bagi adventur Indonesia. Ia bisa membuktikan bahwa seorang ‘independen’ adventure bisa melakukan tugas mulia tanpa puluhan dan ratusan anggota tim. Betul, ia seperti seekor elang yang sendirian. Tetapi seekor elang dengan beautiful mind tentulah lebih menakutkan.

Pegadaian Idealisme

Akhir-akhir ini sepertinya kata idealis selalu terngiang di otak saya, entah merasa sok idealis atau saya memang sudah muak melihat acara musik di tv. Rasanya tak perlu saya sebutkan acara musik dari pagi sampai sore yang berkeliaran di tv kita dan “merusak” telinga ini. Kenapa gw bilang merusak? Karena semua seragam!!! Sepertinya memang sudah menjadi tabiat bangsa ini tuk terus mengekor atau menjadi plagiat sejati. Ketika suatu trend musik sedang diminati maka berbondong-bondong ikut dalam trend tersebut. Saat ini yang jadi trend musik adalah Metal (melayu total).

Disini saya tak bermaksud menyalahkan kehadiran band-band tersebut akibat keseragaman musik Indonesia. Tetapi saya lebih melihat bahwa keseragaman ini adalah ulah para major label yang ingin mencari keuntungan sesaat ketika trend musik melayu sedang naik daun (red, bukan hijau daun). Band-band tersebut umumnya berada dibawah major label, suatu hal yang 5-6 tahun lalu suatu kemustahilan ketika musikalitas sangat buruk, tampang tak layak jual (red, gak nyindir siapapun) mencoba “melamar” ke major label. Parahnya, ada satu major label yang saya nilai semua bandnya tak berkualitas. Siapa dia? Coba tebak!

Para major label saat tak ubahnya seperti tempat pegadaian idealisme. Ketika ada band yang ingin memberikan demo yang secara mainstream berlawanan dengan trend meskipun band tersebut berkualitas secara musikalitas maka bersiaplah untuk ditolak. namun, ketika secara genre band tersebut sesuai dengan trend maka akan dikontrak tanpa melihat kualitasnya! Adapun mereka masih akan menerima band-band idealis dengan syarat “menggadaikan” idealisme mereka dan harus tunduk dengan trend!!! Saya tidak anti dengan musik melayu, tetapi alangkah baiknya bila kita hidup dengan budaya kita sendiri, budaya musik Indonesia yang memiliki kekhasan sendiri. Budaya yang digandrungi bahkan oleh mereka ditempat asal budaya musik melayu! Ketika mereka saja tak menyukai budaya mereka sendiri, lalu kenapa kita amat menggilai budaya mereka? Aneh!

Jadi jelaslah bahwa trend seperti ini disebabkan pula oleh para major label yang menurunkan standar band-band yang akan dinaunginya sehingga band-band yang seharusnya tak masuk major label akhirnya dapat masuk dan menikmati uang dengan bermodalkan satu lagu lewat RBT! Meskipun secara pribadi saya juga kurang suka dengan band-band tersebut. Tetapi saya harus objektif karena trend ini bukan sepenuhnya salah mereka.

Whey: Dan biarkan mereka terus datang dan pergi, cekoki manisnya trend selling out band. Hempaskan hadapi dan mentahkan semua, esensi musik kita tak pernah mati!!

Maaf bila menyinggung teman-teman yang menggilai band tersebut!

Surat Dari Kaki Merbabu


Tenang adalah hal pertama yang saya rasakan ketika menjejakkan kaki di Desa Kedakan, Magelang. Desa terakhir yang berada di kaki taman nasional Gunung Merbabu. Sekilas tak ada yang beda dengan desa sembalun di kaki Rinjani atau bahkan desa di kaki Taman Nasional Gede Pangrango, Puncak. Udara Sejuk serta masyarakatnya yang mayoritas bekerja di bidang agraris adalah hal yang saya temui di desa-desa dataran tinggi, termasuk di Desa Kedakan. Suasana bersahabat penduduknya mengingatkan saya pada penjaga penangkaran penyu daerah Cibuaya, Ujung genteng.

Waktu masih menunjukkan Pukul 12.05 WIB ketika hujan kembali turun dengan derasnya. Kabut pun ikut turun dengan kencang dari perbukitan sekitar desa menyapu rumah-rumah dengan butiran air. Tetapi bukan suasana dan keramahtamahan penduduk Desa itu yang mengusik rasa ingin tahu saya, ada sebuah bangunan kecil seperti masjid tanpa kubah dan pengeras suara seperti yang sering saya temui yang menyita perhatian saya. Ketika jam tangan teman saya menunjukkan pukul 12.15 wib terdengar adzan dzuhur, saya pun mencari sumber suara adzan tersebut. Awalnya saya berpikir suara itu berasal dari bangunan yang saya anggap masjid tersebut, ternyata suara itu berasal dari sebuah masjid diatas base camp pendakian.

Pendakian pun segera dimulai dengan melakukan observasi peta jalur terlebih dahulu. Pada peta tersebut ternyata bangunan yang saya kira masjid adalah sebuah gereja. Awalnya saya berpikir tak mungkin ada sebuah bangunan peribadatan selain masjid/mushola di desa ini, ternyata dugaan saya salah, Desa Kedakan adalah Desa yang majemuk. Sesaat kemudian saya teringat pada sebuah spanduk berisikan kecaman yang mengatasnamakan warga atas pendirian sebuah gereja, spanduk tersebut terpasang sangat jelas disebuah jalan perbatasan Jakarta-Depok, cukup 5 menit dari rumah saya. Dua hal tersebut menarik untuk saya cermati ditengah hujan yang semakin deras di Desa Kedakan.

Di Sebuah tempat yang kita anggap terbelakang serta terpencil dari “peradaban” kota. Mereka mengajarkan saya arti toleransi tanpa harus menggurui apa definisi dari toleransi dan prinsip-prinsip toleransi. Mereka telah melakukannya lebih dahulu tanpa harus berteriak lantang atas nama HAM atau bahkan sebelum para pelaku liberalisasi agama mencoba menanamkan arti toleransi yang kebablasan. Disini mereka melakukannya tanpa harus bersinggungan, bakar-membakar, atau bahkan intimidasi. Rasanya kita sebagai orang yang tinggal di kota dan pihak pemberi label berpendidikan dan terbelakang harus belajar arti pentingnya toleransi. Mungkin ada baiknya bagi yang muslim untuk kembali meresapi arti dari potongan surat Al Kaafirun ”untukmu agama mu dan untukku lah agama ku”. Rasanya sudah sangat jelas tanpa harus ditawar lagi, Islam pun mengajarkan tentang toleransi, lalu kenapa ada yang mengatasnamakan agama untuk menindas kelompok lain? Apakah keimanan kita terkikis dengan adanya sebuah bangunan peribadatan agama lain? Mungkin hanya diri kita yang bisa menjawabnya.

Ketika Semangat dan Langkah itu Surut

COME ON LADS! let it go and keep moving on!!!


Pagi ini teringat semua di hari itu, hari dimana kita memiliki satu tekad atas sebuah tujuan.
setelah hari itu kita lewati hari-hari penuh perjuangan, optimisme, canda dan tawa, terselip juga caci maki tapi semua akan baik-baik saja. ada satu obsesi dan mimpi besar yang menjadi alat pemersatu kita meskipun kita dari latar belakang yang berbeda.

ketika kerikil-kerikil kecil menghadang, satu per satu pergi. satu tujuan pun absurb.
semua memiliki orientasi berbeda dan pragmatis. ketika badai datang menerjang semua terombang-ambing pada keadaan curiga dan fitnah. makin banyak pemilik tujuan itu yang pergi ataupun hilang entah kemana.

saya coba bertahan dari keadaan itu, coba mempertahankan semangat yang masih tersisa, mengais setiap tujuan yang tercecer. tapi pada akhirnya, sulit juga bertahan dikondisi seperti ini. Disaat saya berteriak lantang tentang tujuan awal, tetapi pragmatisme itu muncul dan menganggap saya memperjuangkan sebuah hal yang SIA-SIA! karena semua tanpa kemajuan, diam membatu! tidak mungkin hari-hari saya terkuras di hal yang sia-sia.
Tanpa sadar semangat saya mulai menghilang, langkah ini pun semakin berat. rasanya saya ingin menghilang dari semua ini. mungkin tujuan kita benar-benar terlaksana bukan oleh kita. Teman kita, Orang lain, atau bahkan orang yang kita anggap musuh mungkin yang akan merealisasikannya.



Sekarang semua berjalan sendiri-sendiri. tapi tujuan itu hanya menjadi kisah usang!

Otokritik Diri

Awalnya saya selalu berpikir bisa melakukan apapun yang dingiinkan tanpa bantuan orang lain. Berbuat yang saya hendaki tanpa peduli keberadaan lingkungan, menilai seseorang dengan parameter subjektif ataupun berbicara sebebas-bebasnya lalu berteriak ini hak saya.

Terkadang pemikiran sempit itu membawa pada spektrum hitam dan putih. Mereka akan selalu hitam dan tak akan pernah bisa berbaur dengan putih. Pernahkah terpikir tentang abu-abu? Pelangi? Atau bahkan negara Indonesia? Keanekaragaman membawa kemajemukan nan indah. Tercetus dalam diri jika beda itu absolut dan kesempurnaan itu hakiki. picik ya memang picik! Tapi itu realita sekarang yang ada diantara jiwa-jiwa yang diklaim jiwa muda. Muda atau kekanak-kanakan? Entahlah.

Cukup! Ya Cukup. Cukup sudah border dalam perspektif sempit menghinggapi dinding-dinding jiwa ini. Kita harus hapus Jarak yang sengaja kita ciptakan atau bahkan tanpa sengaja tercipta dengan angkuhnya aku, kamu, dan mereka. Cepat atau lambat waktu akan membuat aku, kamu, dan mereka meratapi masa ini, menginginkannnya kembali tapi sia-sia, mengais-ngais yang tercecer namun tak pernah satu kembali.

lalu sejenak saya tersentak, hidup adalah proses, proses dalam segala hal. tak mungkin berproses tanpa adanya suatu penilaian komparatif secara objektif, sedangkan saya tanpa ada orang lain. Jadi saya amat membutuhkan orang lain dalam segala hal dan sekecil apapun.

rasanya terlalu fana dunia ini bila saya lakukan sendiri, terlalu singkat hidup bila individualis, dan terlalu munafik bila mengacuhkan orang lain. Tak apalah saya kritik habis-habisin diri ini, karena dengan cara ini mungkin saya akan menghargai kamu, mereka, dan kalian.
Aku, Kamu, dan Mereka adalah SAMA dan saya butuh KAMU, MEREKA dan KALIAN.

Mengadili Persepsi

Ketika pemikiran dipasung, ketika jiwa-jiwa itu dimatikan dan ketika otak-otak kita dibuat seragam dan menjadi sama dalam spketrum persepsi. Maka yang terjadi adalah kemunafikan. Kita akan selalu berperan menjadi orang-orang yang dinginkannya, mirip seorang sutradara yang akan mengatur para pemainnya atau bahkan seorang dktator yang akan mengatur segala aspek kehidupan ini!! Kata-katanya bak manusia super yang akan menyihir kita, tingkah lakunya bak nabi ataupun utusan Tuhan didalam suatu agama.

ketika jiwa ini mencoba melawan dan ingin mempertahankan secercah idealisme yang tersisa, maka terjadilah pengadilan persepsi! Mereka kemudian akan mengubah perannya menjadi hakim dalam suatu perkara bernama perbedaan persepsi! Mereka akan menghakimi jiwa-jiwa ini sebagai pemberontak dan tak berhak sedikitpun menyuarakan isi dan jeritan disekitar! Kita dibuat tak berdaya dan terpojok kemudian terkucilkan atas pemikiran yang coba dipertahankan!


Mungkin ini yang disebut para serigala militia dengan bermain Tuhan! Kita akan dklaim sebagai hamba-hamba mereka. Tak berhak bertanya apa, mengapa, kenapa, bagaimana. Mereka seperti mentasbihkan paling sempurna sehingga tak layak terucap dalam bibir kita sebuah kata tanya! Semua jiwa-jiwa ini akan dibuat monotheisme!!hanya percaya pada ucapannya seorang! Lalu siapa yang berhak? Kaumnya! Orang yang akan senang hati menjilat ludahnya sendiri sekaligus membantu mematikan pemikiran kita dan berteriak lantang, “Diam Kau pemberontak!!!”. Mereka dan kaumnya akan selalu menganggap kita adalah kasta terendah ataupun menggapnya dirinya adalah kaum borjuis yang berhak menginjak-injak kaum proletar menurut mereka, seperti yang dilakukan kaum liberal dengan kaki angkuhnya! Ketika kita sudah terpenjarakan dengan pemikiran mereka, maka akan membuat jiwa ini pragmatis dan tak lagi idealis, membuat kita bermain aman ketimbang harus rela di cap pengkhianat atau bahkan pecundang sejati! Tertawa miris kudalam hati melihat realita yang kini terjadi, saat ini terpampang jelas di depan mataku! Tetapi ketika kiita coba melawan, maka kita akan dianggap telah murtad dari ajaran mereka, sebuah ucapan yang membuat semua perjuangan kita serasa sia-sia!

Apakah kita mau selalu ada dibawah bayang-bayang para pemain lakon Tuhan? Tidak! Lebih baik kita terhina sebagai pengkhianat yang terus menyuarakan isi hati dan kebenaran-kebenaran ketimbang jiwa ini harus dibutakan oleh materi yang sama artinya menjual harga diri senilai dengan materi tersebut dan selalu terkungkung dalam ajaran yang mengharamkan perbedaan! Sadar kawan, jiwa ini tak dapat dibeli dengan apapun! Sudah saatnya melawan tirani yang sebenarnya kita buat sendiri! Akhirnya, biarkanlah kami ada dan tetap hidup dengan jiwa-jiwa yang kami miliki dan jangan pernah memaksakkan pemikiran anda! Terpenting, jangan anggap kami pemberontak dikarenakan kita berada dalam sisi pemikiran yang berbeda.
ayo teriakan, INDIVIDU MERDEKA!!

Fatwa vs Realita

Kaget, mungkin itu hal yang pertama terlintas didalam pikiran ketika mengetahui fatwa haram terhadap facebook yang dikeluarkan oleh ulama di Jawa Timur. fatwa tersebut menambah daftar fatwa yang penuh kontroversi di negeri ini. Sebelumnya MUI juga mengeluarkan fatwa yang cukup kontroversial dengan mengharamkan Golput. Fatwa sepertinya akan selalu menjadi kontroversi di negara yang mentasbihkan penduduknya sebagai umat muslim terbesar di dunia. Setiap fatwa yang dikeluarkan selalu timbul resistensi di kalangan grass root.

Alasan yang dijadikan dalil oleh para ulama tersebut adalah penyalahgunaan facebook oleh para penggunanya. Facebook dijadikan tempat mencari jodoh, prostitusi berkedok jejaring sosial, dan hal-hal yang tak bermanfaat lainnya. Disini, saya melihat telah terjadi pola pikir yang salah oleh para pengambil keputusan fatwa haram tersebut. Hal yang wajar terjadi menurut saya bila melihat suatu hal dari sisi yang berbeda dan sisi tersebut berlawanan dengan sisi pemikiran saya. Oleh karena itu tulisan ini bersifat subjekitif yang timbul dari pemikiran orang “nyeleneh” seperti saya.

Facebook tak ubahnya pisau yang yang memiliki dua sisi, positif dan negatif. Manfaat dari pisau sangat banyak, sekiranya tak perlu saya jabarkan disini. Di sisi berbeda pisau akan negatif ketika digunakan untuk tindakan kriminal. Misalnya ketika pisau digunakan untuk membunuh orang. Lalu timbul pertanyaan, apakah ketika terjadi penyalahgunaan terhadap pisau akan difatwakan haram untuk penggunaan pisau? Tentu tidak, karena pihak yang bersalah bukan pisau! tetapi lebih pada manusia yang menyalahgunakan pisau tersebut. Begitu pula facebook, ketika facebook disalahgunakan oleh para pengguna maka bukan dengan menyamaratakan semua pengguna facebook adalah pihak tertuduh dengan mengharamkan facebook, tetapi penyalahgunaan ini lebih kepada masing-masing individu. Mungkin ketika mengeluarkan fatwa tersebut mereka lupa jika ada ayat di dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk saling mengenal sama lain. Menurut saya facebook hanya salah satu media untuk merealisasikannya, tanpa bermaksud mencari perlindungan balik dari ayat-ayat suci seperti yang dilakukan oleh kaum liberal!! Tulisan ini juga saya buat tanpa maksud membela diri karena saya adalah pengguna facebook tetapi lebih kepada rasa jengkel saya terhadap fatwa ini karena kenapa hal yang menurut saya tak terlalu mendasar yang justru difatwakan? Masih banyak masalah besar yang bisa difatwakan dan lebih penting ketimbang facebook!.

Bila hal tersebut terus terjadi lembaga-lembaga agama di negeri ini tak ubahnya lembaga yang akan membatasi kehidupan manusia di setiap aspek kehidupan dengan menggunakan dalil-dalil agama yang merupakan harga mati sebagai pelindung mereka. Saya tak bermaksud menyalahkan ayat-ayat suci yang digunakan untuk melakukan pembenaran tetapi lebih kepada penafsiran yang salah dan setengah-setengah sehingga menimbulkan kerancuan di kalangan umat. Seharusnya yang perlu dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan adalah mengatur kehidupan kehidupan manusia agar selalu selaras dengan apa yang terkandung di dalam di dalam Al-Quran. Jadi hendaknya sebelum memberikan fatwa hendaknya terlebih dahulu dilakukan observasi secara komprehensif terhadap objek yang akan difatwakan agar tidak menimbulkan kontorversi atau jangan-jangan mereka tidak tahu “rupa” dari facebook? Entahlah.

Semoga tulisan ini menjadi sedikit pembelajaran untuk kita semua, khususnya saya agar di dalam menilai sesuat harus mempertimbangkan segala aspek dari semua sisi yang berbeda agar output yang dihasilkan berkualitas dan tidak menimbulkan polemik. Mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan.

bad news is good news


Judul itu sepertinya telah mewakili apa yang saya rasakan akhir-akhir ini. Sebuah kondisi dimana berita bombastis serta fantastis selalu memiliki daya jual tinggi di mata media tanpa harus memikirkan kebenaran atau efek dari pemberitaan tersebut. Kata media berasal dari bahasa latin Medius yang secara harafiah berarti tengah, perantara, atau pengantar. Jadi media pada dasarnya bertugas memberitakan apapun kejadian yang terjadi ditengah masyarakat.

Oleh sebab itu, saya pun menyadari bahwa media tak selamanya memberitakan hal-hal yang baik, ada kalanya memberitakan kebobrokan suatu entitas, termasuk pemberitaan mengenai entitas suporter belakangan ini. Tak ada yang salah menurut saya dengan prinsip tersebut, asalkan media dalam mewartakan berita selalu dalam koridor objektif dan berimbang, karena pemberitaan apapun isinya dapat digunakan sebagai bahan evaluasi entitas tersebut.

Permasalahan timbul ketika media hanya melihat sisi jual dari suatu berita tanpa peduli kebenaran dari berita tersebut. Hendaknya dalam melakukan pemberitan sebuah media melakukan klarifikasi dan validasi sumber berita, bukan sekedar bombastis yang diharapkan dapat dijual semata. Berita mengenai kerusuhan sepakbola di Jakarta hampir sehari penuh mewarnai layar kaca, anehnya saya menemui berita dengan dua visualisasi yang sama tetapi dengan narasi yang berbeda. Media seharusnya menjadi simbiosis mutualisme bagi perkembangan sepakbola lokal dan bukan menjadi pihak yang menambah buruk stigma masyarakat umum terhadap sepakbola dalam negeri. Ketika memang ada berita positif maka beritakanlah tanpa narasi yang “under estimate” dan ketika ada berita negatif, maka saya pun ikhlas diberitakan asal berimbang dan benar. Media selalu berucap tak ada asap jika tak ada api, mengapa disaat mereka memberitakan keburukan sepakbola lokal tidak mencoba mencari penyebab suatu permasalahan timbul? Ataupun sekedar mencari fakta pembanding lain di lapangan? Mungkin mereka tak peduli dengan asal “api” tersebut, karena hanya memperdulikan si “asap” yang menjual. Jika demikian memang sudah menjadi tabiat kebanyakan dari kita, konsisten dengan inkonsistensinya. Entahlah.

Ya, prinsip hanyalah prinsip. Semua kembali pada implementasi di lapangan dan pragmatisme media. Konsep-konsep media objektif dan berimbang hanya menjadi tagline semata dan tak berguna karena dikalahkan dengan sebuah hal, menjual! Kemudian pihak supporterlah yang selalu menjadi sasaran tembak semua pihak yang mengaku cinta dengan sepakbola lokal, dengan demikian supporter menjadi pihak yang paling pantas disalahkan atas kebobrokan sepakbola negeri ini, semakin buruklah citra supporter negeri ini. Sepertinya media harus merubah spektrumnya, dari menjual-tidak menjual menjadi benar-salah dengan tetap berpegang teguh pada objektifitas serta kebenaran berita yang dapat dipertanggungjawabkan. Saya pun tak mau mencontoh hooligans atau ultras dengan menganggap media itu musuh supporter, karena saya berasumsi kemajuan sepakbola lokal haruslah didukung oleh semua pihak, termasuk media. Akan tetapi jika faktanya media selalu tidak objektif dalam melakukan pemberitaan, mungkin kita bisa mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Green street elite, musuh supporter adalah media dan polisi!

We'll keep "ORANJE" flags flying high!


Di tengah keriuhan malam itu, saya menerima sms bertubi-tubi.
intinya mereka mengeluhkan kemacetan karena adanya sepakbola, bahkan beberapa sms menyebut entitas saya dengan kata binatang. begitu pula diberbagai thread kaskus.
Awalnya saya tidak terlalu merisaukan beberapa keluhan teman atau mereka di kaskus.
tetapi rasanya saya juga perlu sedikit memberi penjelasan untuk mereka.

Jakarta Macet setiap seusai pertandingan persija.
untuk masalah ini perlu kita cermati dengan seksama.
Setiap pertandingan persija dengan lawan tim-tim gurem minimal dihadiri 40ribuan penonton (meskipun gak semua masuk stadion). terlebih lagi ketika lawan tim-tim besar maka anda dapat bayangkan berapa banyak yang hadir. Puluhan ribu orang tersebut memarkirkan kendaraannya di sekitari Hall Basket. Ratusan Bis serta ribuan sepeda motor memadati jalanan yang tidak terlalu lebar. Anda dapat membayangkan tentunya bagaimana jika semua kendaraan secara serentak keluar dari areal GBK. apa ini bentuk "cuci tangan" kami? apa ini bentuk pembelaan kami dengan menyebutkan "jakarta, tanpa adanya pertandingan persija sekali pun sudah macet"? terserah kalian mau berkomentar binatang sekalipun, tapi memang faktanya seperti itu.
Tentunya kemacetan akan semakin parah jika bertanding di Lebak bulus, sebagai informasi GBK memiliki banyak pintu dan akses jalan keluar GBK, tetapi kemacetan tetap terjadi. Bagaimana dengan areal lebak bulus yang jalannya satu arah? pikirkan sendiri.

Dari berbagai keluh kesah mereka, ada yang berkomentar kenapa di jalan raya tingkah laku para suporter ini gak tertib dan sering berbuat onar?. Untuk satu hal ini saya sepakat dengan mereka. Rasanya tak perlu ada pembelaan untuk hal ini karena saya pun mengakui jika mereka yang umumnya remaja sering berbuat ulah ketika di jalan raya. Rasanya organisasi juga sudah berusaha untuk meminimalisasi hal tersebut dengan menempatkan korlap di beberapa sudut jalan raya, meskipun hasilnya belum maksimal. Mereka yang ugal-ugalan saya pastikan adalah mereka yang tidak terkoodinir, bagi mereka yang memiliki koodinator wilayah (korwil) umumnya sudah terkoordinasi dengan baik, Jalan menuju dan pulang dengan tertib. Sekali lagi ini bukan bentuk "cuci tangan" kami.


Inilah Jakarta dengan segala kompleksitasnya. sebagian dari kami adalah orang-orang termarjinalkan dari kehidupan urban ibukota. Jangalah kalian memaki hanya karena terjebak kemacetan menuju pusat perbelanjaan ternama untuk sekedar mencari hiburan. Mereka juga butuh hiburan walau hanya dengan menonton pertandingan sepakbola, tiap lembar rupiah berguna bagi mereka tuk sekedar membeli tiket pertandingan, melakukan caci maki tanpa dasar hanya menunjukan kalian sebagai invidualis dengan egois tingkat tinggi! Karena secara tidak sadar kalian telah memproklamirkan diri sebagai pihak yang satu-satunya pantas mendapatkan hiburan di Jakarta.
Bagi mereka inilah bentuk aktualisasi mereka sebagai anak Jakarta. mereka sama sekali tak memiliki kebanggaan di ibukota selain menonton sebuah pertandingan, karena bagi mereka hanya dengan menonton pertandingan sepakbola mereka merasa kebanggaan sebagai orang Jakarta. terpenting ini adalah HIBURAN!


Sebelum menilai sesuatu hendaknya dilihat dari berbagai sudut pandang dan komprehensif, secara tidak sadar kalian akan lebih hina daripada yang kalian anggap hina. Persija, The jak, dan kemacetan adalah bagain dari Jakarta. Suka tidak suka terimalah. terakhir, tak peduli serasis ataupun sehina apapun kalian menghina entitas kami, kami akan tetap bernyanyi
"We'll keep 'oranje' flags flying high"