Showing posts with label Refleksi. Show all posts
Showing posts with label Refleksi. Show all posts

Sunday, February 20, 2011

Positif Aksi dan Pikiran, Kawan!




Gowes kata yang mungkin sering kita dengar akhir-akhir ini. Yap, bersepeda memang menjadi wabah terutama di Jakarta. Sepeda berbagai jenis dan warna banyak menghiasi jalan-jalan ibukota dan Pemerinta DKI meresponnya dengan rencana jalur sepeda di Jakarta. Kita semua pun mungkin bermimpi jika Jakarta seperti kota-kota di luar negeri, pejalan kaki dan pengguna sepeda sangat diutamakan. Akan tetapi kali ini saya tidak ingin membahas bagaimana infrastruktur untuk pejalan kaki atau pengguna sepeda, saya ingin membahas tanggapan beberapa orang tentang pengguna sepeda.


Trend? Entah trend atau tidak memang faktanya pengguna sepeda kian hari semakin bertambah banyak. Tanggapan pun mulai bermunculan, baik yang pro ataupun kontra. Tetapi yang sedikit mengusik pikiran saya adalah tanggapan kontra, bukan karena saya pengguna sepeda. Pihak kontra menuding bersepeda hanya trend dan “mengekor”. Ah...picik sekali pikir saya pola pikir seperti itu. Jika bersepeda memang trend dan budaya yang “mengekor” bukankah tujuannya positif?
Ya, setidaknya menyehatkan tubuh kita kan? Mengurangi polusi walau tidak seberapa kan? Tiba-tiba serangan berlanjut, “alangkah baiknya jika bersepeda juga berhenti merokok?”. Yap, saya sangat setuju itu dan memang idealnya seperti itu! Tapi memang terdapat masalah jika pengguna sepeda tetap merokok? Toh..itu pilihan mereka selama mereka tahu dimana mereka harus merokok. Lagi-lagi disini bukan karena saya merokok lalu membela mereka yang tetap merokok. Saya pun terus berusaha untuk mengurangi dan berhenti merokok, jadi semua itu harus melalui proses. Setidaknya untuk diri saya.


Berhentilah berpikir parsial, kawan! Hentikan berprasangka buruk terhadap niat baik seseorang. Jika anda tidak suka melihat pengguna sepeda, maka kencangkan laju motor kendaraan anda dan tidak perlu berpikiran picik. Mulai lah berpikir positif terhadap apa yang dilakukan dan akan mulai dilakukan orang lain.

Wednesday, January 19, 2011

Are you hools? absolutely yes!



Football makes me always young and terrace makes me know many people.
I have many friends and i know them when we "pray" on terraces.
travelling from our terraces to another, it makes me comfort to stay with them.
Stay together in behind the enemy lines or struggle to life on awaydays.
I learn terrace culture from many countries, the biggest magnet is Italy
and England. This is England, it a first movie that makes me to know all
about casuals life and more interest than ultra in Italy.

Beer and fight is near from them, it's really happens if you watched Green Street Hooligans. The Casuals is like trigger to many sub-sub supporters to follow casuals life and fashion. They wear fila, fred perry etc, consume some drinks before or after the team match. Indonesian football fans have their style to support the team. Make a crowded on terrace with good songs, the simultan percussions, and attraction like a cheerleaders. It’s the characteristic of Indonesian supporters. I think in several years later we can’t see it in terrace again, at least on Gelora Bung Karno.

After watched persija against persib on medio October 2010, many firm on the jak choose to being ultra or hools, but the traditional fans stay with their own style on sector 9-12 gelora bung karno. Let's me to tell you that i'am the part of them who follow casuals life.hahaha..But i'm not a tiger boys, old firm from Jakarta, i have another firm that we called with sector 13 familia. hehehe.....

we have own paradigma, being hooligans it doesn't means you have to consume alcohol or something like that, if you're alcoholic isn't a matter for us cos it's your right. the most important is we'll always ready if the team need us to give the best support on terrace even fight with another firm from another team. its just my opinion, So make it simple thing, lads!

Hools is spirit in your soul and mind

Tuesday, January 18, 2011

Mendaki Cartenz Demi Ayah. (repost)

Dari Majalah Angkasa.
Harian Kompas tanggal 18 April 1981 memberitakan: “Pendakian Salju Khatulistiwa. Tim Mapala UI menemukan es Jayawijaya menyusut 200 m. Sisa pesawat DC-3 Belanda ditemukan.” Mengenai sisa pesawat selanjutnya diberitakan: “Reruntuhan DC-3.Tim pendakian ekspedisi telah melacak rute selatan Pegunungan Carstensz dan berhasil menemukan reruntuhan pesawat terbang DC-3 (maksudnya C-47) Dakota milik Belanda. Tim ini juga berhasil mendaki lagi puncak tertinggi Carstensz Pyramide (4.884 m), dengan menyertakan dua pendaki wanita, Karina Arifin dan Ita Budi.

Hampir 30 tahun sesudah ayahnya meninggal, barulah Harry Rudolph dapat berpamitan dengan sebenarnya. Hanya tidak mudah, dia harus mendaki Pegunungan Carstensz setinggi 4.000 meter di Papua demi ayah yang dicintainya.

Sepuluh hari lamanya, terguyur hujan dan terbenam dalam lumpur hingga lutut, aku bersusah-payah menembus hutan belantara tropis di Niugini. Tujuan akhirku masih tampak jauh dan sulit dicapai. Persediaan makananku sudah berkurang secara memprihatinkan. Akan tetapi, setiap kali aku pertimbangkan untuk membatalkan ekspedisi ini, setiap kali pula aku teringat wajah ayahku, Frans Rudolph, yang seolah-olah memberikan kekuatan baru.

Sekonyong-konyong, 15 orang laki-laki yang telanjang menghalangi jalanku. Mereka adalah orang-orang Papua, yang memakai bulu-bulu burung beraneka warna di rambutnya yang keriting dan bersenjatakan panah serta busur di samping parang yang tampak menakutkan. Aku merasa khawatir dan menyadari, boleh jadi, ini berarti akhir dari petualangan. Aku nekat.

Bagi orang-orang Papua yang gagah berani, mungkin memergoki seorang pengembara di dalam hutan, mengagetkan mereka juga. Perjuangan berhari-hari telah menyebabkan penderitaan yang tidak ringan. Badanku penuh dengan luka-luka berdarah yang ditimbulkan oleh batu karang yang tajam dan dahan pohon. Kaki dan mata sudah bengkak karena gigitan nyamuk dan lintah yang haus darah, serta sengatan yang menyakitkan dari tawon dan kalajengking.

Karena kehabisan tenaga, aku duduk di atas sebuah batu gilang sambil meletakkan kedua telapak tangan di kudukku sebagai tanda bahwa aku tidak bermaksud jahat. Begitulah keadaanku sambil melihat ketakutan. Aku teringat ayah yang memberi dorongan untuk melakukan perjalanan seorang diri, juga memberi kekuatan untuk bertahan menghadapi segala macam ujian.

Pada tanggal 28 Juni 1962, Negeri Belanda masih terlibat konflik bersenjata melawan Indonesia sehubungan dengan klaim terhadap Irian Barat. Pada pagi hari itu, ayahku, seorang flight engineer AU Belanda dan empat orang kru lainnya serta tiga orang penumpang sebuah pesawat C-47 Dakota dengan nomor registrasi X-11, lepas landas dari Merauke. Untuk mencapai tujuannya, Biak, pesawat militer itu harus melewati Pegunungan Carstensz setinggi 5.000 meter. Alam yang benar-benar tidak bersahabat.

Delapan tahun kemudian, beberapa foto udara memperlihatkan, bagaimana di tengah perjalanannya, pesawat itu menabrak dinding gunung dan hancur-lebur. Bayangan bahwa jasad ayahku terlantar di suatu tempat di dataran tinggi gunung karang, bagi kami sekeluarga menimbulkan penderitaan batin yang nyaris tak tertahankan.

Aku baru berumur 12 tahun ketika melihat ayah terakhir kali. Sepanjang ingatanku, dia seorang militer yang tegar, percaya diri dan gagah berani, yang sangat memperhatikan dan menyayangi istri serta empat anaknya. Ia menyediakan waktu sebanyak mungkin dengan keluarganya. Ia suka membawa anak-anaknya jalan-jalan di hutan dan mengajak kami berpartisipasi dalam hobinya yang paling berat, yaitu mengotak-atik mobil. Ia memiliki mobil Peugeot tahun 1947. Kami sering berjam-jam mengotak-atiknya.

Selama hampir 30 tahun sejak dinyatakan hilang pada usia 39 tahun, kerinduan kami sekeluarga kepada ayah bertambah kuat, di samping perasaan kecewa atas perlakuan terhadapnya dan anggota kru lainnya.

Dalam tahun 1974, arsip tentang X-11 ditutup karena, menurut para pejabat, adalah mustahil untuk mencapai reruntuhan pesawat dan mengevakuasi jenazah-jenazahnya. Pada waktu itu, mulai timbul niatku untuk mencari sendiri. Setelah begitu lama, begitulah pikiranku, ayahku harus mendapat tempat peristirahatan terakhir yang pantas. Untuk membiayai perjalanannya, aku dan anggota keluarga lainnya mengumpulkan sekitar 50.000 gulden dari kocek sendiri.

“Romo Pastur Jos,” aku bertanya di kantornya di kota Leiden, “Orang Papua itu sebetulnya bagaimana?” Muka misionaris mengguratkan senyuman. “Mereka adalah orang-orang yang ramah-tamah, suka membantu dan suka menerima tamu,” begitulah jawabnya.

Romo Pastur Jos Donkers lama hidup di antara orang-orang Papua di hutan belantara Irian Jaya, yang hingga tahun 1962 bernama Niugini Belanda, yang gelap. Akan tetapi, seluruh daerah sulit dilalui. Hujan yang terus-menerus mengguyur tanah rawa, ular, lintah, dan serangga lainnya adalah ancaman yang harus diwaspadai. Anda tidak bisa menemukan apapun yang dapat dimakan. Adalah niat yang gila untuk pergi ke sana sendirian.

Aku mengunjungi Tropen Museum di Amsterdam untuk mempelajari peta-peta Niugini. Bahkan di atas kertas, perjalanannya tampak mengesankan. Sebagai persiapan, aku latihan intensif selama dua minggu di Pulau Jawa. Aku mendaki gunung berapi sampai tidak kurang 25 kali, tidur di udara terbuka, dan melakukan percobaan untuk mengetahui berapa hari dapat bertahan tanpa makan.

Setelah itu, aku menentukan susunan bagasi di atas hamparan plastik, sebuah kantong untuk tidur, beberapa potong pakaian, sebilah parang, sebuah kompas, beberapa helai peta, dua buah velples, sebuah payung dan sebuah video kamera. Persediaan makananku terdiri dari biskuit kering, buah berkulit keras, satu blek bubuk glukosa dan beberapa blik ransum darurat.

Begitulah. Pada 25 Oktober 1989, aku mulai ekspedisi ke Timika, suatu kota kecil di pantai selatan Irian Jaya. Dengan bantuan seorang misionaris yang berdiam di sana, aku dipertemukan dengan seorang Papua yang pernah menjadi anggota suku yang berdiam di pegunungan yang tinggi. Ia menggambarkan rute menuju ke desanya yang dulu secara garis besar. Perjalanannya akan memakan waktu lebih kurang empat hari, berdasar taksirannya. Optimismenya ternyata jauh berbeda dengan kenyataan. Perjalananku memakan waktu jauh lebih lama dan penuh kejadian-kejadian yang menakutkan.

Hujan deras mengguyur pohon-pohon lebat yang tingginya mencapai 50 meter. Untunglah masih terdapat celah terbuka melalui mana dapat kubedakan siang dan malam. Satu-satunya alat yang membantu dan menjadi tumpuan harapan di dalam medan yang sangat tidak bersahabat, yaitu kompasku, seolah-olah menentangku dengan selalu menunjukkan arah ke pohon-pohon tumbang atau rawa-rawa yang dalam.

Kerumunan tawon hitam yang ditakuti mengelilingiku. Dari waktu ke waktu, tawon-tawon itu membuka serangan secara massal. Pakaianku nyaris tidak mampu memberi perlindungan. Tawon-tawon itu dapat menembus hampir semua bagian dari tubuhku untuk sekadar memberi sengatan tajam yang dapat menimbulkan infeksi yang parah.

Di belakang kawanan tawon menyusul pasukan lintah, mahluk-mahluk seperti monster sepanjang hampir 3 cm, yang menggigit kulitku dengan keras dan bahkan dapat masuk lewat lubang-lubang tali sepatuku dan melihat kaki-kakiku berdarah. Ular-ular piton sepanjang hampir tujuh meter disana-sini tampak bermalas-malasan pada sore hari. Ular-ular yang tanpa upaya menyambar dan melilit babi hutan yang lewat, dapat saja sekonyong-konyong berbuat yang sama terhadap pengembara hutan tanpa pertahanan diri seperti aku.

Tinggi di atas kepalaku, burung-burung cendrawasih mengantarkan perjalananku yang berat dengan kicauan-kicauan yang ramai. Pada malam hari, suara mereka yang gaduh ditingkahi oleh menggerisiknya ular, laba-laba, dan kalajengking, yang mengelilingi diriku bak musuh yang tak kasat mata. Aku berusaha untuk tidur sambil mengacuhkan luka-luka dan kaki yang bengkak.

Hutan belantara merupakan musuh tanpa ampun. Perjalanan empat hari tamsiran orang di Timika, bergema dibenakku ketika kuinjak hari kesepuluh.

Pada hari yang sama, hampir saja sebuah Lockheed Neptune milik AL Belanda ditembak jatuh oleh dua Hawker Hunter AU Belanda

Sebenarnya, dipergokinya diriku oleh 15 orang penduduk bersenjata yang di luar dugaan muncul di depanku, lebih merupakan penyelamatan daripada ancaman. Orang-orang itu ramah-tamah, suka membantu, dan suka menerima tamu. Gambaran yang diberikan Romo Pastur Jos tentang orang Papua kuingat kembali, ketika di depanku orang-orang itu terlibat diskusi yang ramai. Dengan sisa kekuatan yang masih kumiliki, kedua telapak tanganku tetap kuletakkan di kudukku sebagai tanda menyerah. Akhirnya, seorang yang lebih tua mendekat secara hati-hati untuk memeriksa barang bawaanku.

Penasihatku seorang Papua di Timika, telah menitipkan sepucuk surat yang sederhana bagi orang yang dituakan di desa. “Orang baik”, begitulah kira-kira isi surat tersebut karena salah seorang penduduk bersenjata yang lebih tua tampak tersenyum dengan ramah. Yang lainnya mengubah arah acungan senjata dari diriku.

Salah seorang penduduk menguasai sedikit bahasa Melayu dan menjadi juru bahasa. Kuceritakan bahwa aku sedang mencari jenazah ayahku yang telah jatuh dengan pesawat di pegunungan Carstensz. Ia meneruskannya kepada pimpinannya, dan kembali kepadaku sambil berkata: “Pemimpin kami bilang bahwa kedatangan Anda disambut baik di desa ini dan bahwa Anda boleh menginap di sini.”

Orang-orang yang suka menerima tamu. Romo Pastur Jos benar. Jarang saya mendapat teman-teman begitu cepat seperti di desa ini. Orang-orang Papua memberikan segala macam perhatian. Dari dalam gubuk-gubuk yang mirip cendawan raksasa dan tersebar di bukit-bukit, mereka memberi senyum penuh persahabatan, setelah pemimpinnya memberitahukan bahwa aku orang baik.

Aku mengalami kejutan ketika foto reruntuhan X-11 yang kuperlihatkan untuk menjelaskan tujuan ekspedisi yang tidak biasa ini, membangkitkan ingatan beberapa penduduk. Pemimpin desa menunjuk ke arah pegunungan yang tampak menjulang ke langit di kejauhan.

Dua hari lamanya aku menjadi tamu orang-orang Papua yang riang gembira. Kekuatanku sudah pulih kembali untuk meneruskan perjalanan. Beberapa penduduk yang ramah-tamah bahkan mengiringi diriku selama beberapa hari.

Perlahan-lahan hutan belantara diganti oleh batu-batu karang yang tajam. Pemandangan di sekelilingku didominasi oleh arakan awan tipis dan panjang yang lewat di atasku dan ditiup oleh angin kencang dingin seperti es. Aku tidak dapat mengandalkan kompas lagi karena adanya endapan lapisan-lapisan logam di pegunungan itu. Aku terpaksa berlindung di bawah batu-batu yang menjorok selama berjam-jam sambil menunggu terangnya kembali penglihatan.

Tujuan akhir dari perjalananku tercapai 16 hari setelah berangkat dari Timika. Tampaknya seperti pemandangan di bulan yang menyeramkan, dikelilingi oleh dinding-dinding gunung raksasa yang menjulang tinggi dan menyeramkan. Di salah satu sisi pada ketinggian 4.100 meter tergeletak ekor Dakota yang berwarna kelabu dan dihiasi tanda kebangsaan AU Kerajaan Belanda merah-putih-biru yang menyala, diapit oleh nomor registrasi X-11. Itulah adegan yang selama bertahun-tahun menghantuiku.

Aku berkemah selama dua hari di antara horor sisa-sisa sedih X-11 yang hancur lebur. Di areal yang luas, kutemukan puing-puing terdiri dari sobekan aluminium yang dulunya merupakan badan pesawat, motor-motor pesawat yang hancur dengan baling-baling yang bengkok, sebuah sepatu, sebuah boneka, dan beberapa buah kaos kaki. Sama sekali tidak ada jasad para kru dan penumpang yang semula ingin kuberikan penghormatan terakhir di dalam kesunyian di pegunungan yang dahsyat ini. Apa yang telah terjadi dengan jasad mereka?

Aku dengar dari para pekerja tambang tembaga, tidak jauh dari reruntuhan pesawat, sekelompok mahasiswa Indonesia tahun 1981 telah mendahuluiku. Mungkin mereka dapat menjawab pertanyaanku.

Melalui kawan-kawan Indonesia di Bandung, aku bertemu dengan tiga orang. Mereka menceritakan bahwa proyek pendakian gunung universitasnya menugaskan mereka untuk mendaki pegunungan Carstensz pada 1981, ketika secara kebetulan mereka menemukan reruntuhan pesawat. “Tabrakannya begitu hebat,” kata salah seorang mahasiswa sambil menggigil sehingga reruntuhannya benar-benar tersebar di mana-mana.

Mereka berkemah selama kurang lebih sebulan dan setiap hari melakukan pencarian di sekitarnya. “Kami menemukan sepucuk Uzi, kereta bayi, beberapa potong pakaian dan sebuah buku catatan,” kata si mahasiswa. Buku catatan yang mereka temukan disimpan di universitas, ternyata milik ayahku.

Para mahasiswa telah mengumpulkan jasad-jasadnya dengan seksama, dimasukan ke dalam sebuah peti dan dikebumikan dengan khidmat di bawah tumpukkan batu. Aku mendapat sebuah foto dari kuburan itu. Setelah hampir 30 tahun, akhirnya aku mengetahui nasib yang dialami mendiang ayahku.

Dalam bulan Januari 1991, 14 bulan sesudah perjalananku yang penuh bahaya, AU Kerajaan Belanda dibawah tekanan untuk melakukan sesuatu mengenai X-11. Pihaknya mengizinkan ekspedisi yang terdiri dari lima orang untuk mengevakuasi jasad-jasadnya.

Aku mendapat izin untuk ikut serta. Kami diangkut dengan helikopter ke lokasi. Setelah mendirikan perkemahan, kami melakukan pemeriksaan yang seksama. Di bawah tumpukan batu seperti yang diperlihatkan oleh foto para mahasiswa, kami memang menemukan peti berisi jasad-jasad para kru dan penumpang. Bagiku merupakan saat yang sangat mengharukan dan memuaskan. Tugasku telah terlaksana. Ayah akhirnya akan pulang.

Tanggal 19 Februari, jasad-jasad para korban diangkut ke negeri Belanda. Tanggal 22 Maret dimakamkan dengan penghormatan militer di Taman Kehormatan di Loenen. Tinggi di pegunungan Carstensz, kini tinggal sejumlah reruntuhan dan prasasti yang menyebutkan nama para korban. Prasasti dibuat oleh anggota-anggota ekspedisi, yang mengenang bencana 29 tahun sebelumnya.

Harian Kompas tanggal 18 April 1981 memberitakan: “Pendakian Salju Khatulistiwa. Tim Mapala UI menemukan es Jayawijaya menyusut 200 m. Sisa pesawat DC-3 Belanda ditemukan.” Mengenai sisa pesawat selanjutnya diberitakan: “Reruntuhan DC-3.Tim pendakian ekspedisi telah melacak rute selatan Pegunungan Carstensz dan berhasil menemukan reruntuhan pesawat terbang DC-3 (maksudnya C-47-red) Dakota milik Belanda. Tim ini juga berhasil mendaki lagi puncak tertinggi Carstensz Pyramide (4.884 m), dengan menyertakan dua pendaki wanita, Karina Arifin dan Ita Budi.

Kelly dari TVRI Jakarta dibantu Arianto, berhasil merekam peristiwa penelitian, pendakian, dan penemuan reruntuhan pesawat dengan kamera 16 mm. Diharapkan hasil rekaman nanti menambah keterangan tentang hasil yang telah diperoleh Mapala UI.

Dari survei rute selama dua hari, akhirnya tim melalui rute selatan berhasil mendapati rute sebenarnya ke arah reruntuhan pesawat. “Waktu survei dua hari, pendakian yang benar hanya empat jam. Badan pesawat mulai pintu tengah sampai ekor boleh dikata utuh, lainnya berantakan,” kata Arianto. Diterangkan juga, pesawat menabrak dinding padas, lalu pecah, dan sisa badan pesawat terjerembab di atas teras batu ditutupi lumut.

Berhasil ditemukan beberapa tulang pinggul, tangan, serta sisa tempurung kepala manusia. Selain jaket penyelamat, gear box, dynamo wiper, helio-gram, mirror, segulung film positif 8 mm, dan beberapa temuan lainnya.

“Pesawatnya berwarna hijau loreng, masih kelihatan gambar bendera Belanda. Memang Atase Militer Kedubes Belanda, Brigjen J. Linzell, juga mengatakan hal yang sama. Mereka pernah memotret reruntuhan itu, kami pun banyak mendapat informasi darinya,” ujar Arianto lagi.

Harian yang sama dalam edisi 27 April 1981 menurunkan tulisan yang menceritakan bahwa reruntuhan pesawat C-47 Dakota ditemukan pertama kali oleh Norman Edwin pada tanggal 3 April 1981, pukul 10:30 WIT. “Setengah badan pesawat itu masih utuh, rupanya menabrak dinding selatan Carstensz lalu ambruk di teras,” tutur Kelly Saputro, juru kamera TVRI Jakarta yang mengikuti ekspedisi Mapala UI. “Bagian depannya mungkin hancur dan terlontar ke tempat lain.”

Pesawat Dakota itu milik Belanda, mendapat kecelakaan setelah melanggar dinding gunung tinggi saat terbang dari Merauke ke Biak pada masa konfrontasi Indonesia-Belanda tahun 1963. “Memang penemuan ini yang pertama kali, sedangkan pesawat udara yang ditemukan beberapa tim pendaki sebelumnya milik Amerika,” kata Kelly sambil menerangkan lagi, “Tahun 1944 ada pesawat Dakota kargo milik AU AS jatuh di komplek pegunungan Jayawijaya. Tak lama kemudian, Komisi Korban Perang AS sempat mendatangi dan membawa beberapa sisa tubuh korban untuk dimakamkan di negaranya.

Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1314996


Yap, semua punya tujuan masing-masing ketika mendaki gunung. Apapun itu bulatkan tekad dan tujuan, siapkan mental dan kita siap menggapai sang puncak.
*ah...saya benar-benar ingin mendaki saat ini..

Monday, January 3, 2011

Happy new year 2011!!


Tak terasa putaran waktu membawa saya meninggalkan 2010 yang penuh

perjuangan bersama skripsi. Tahun penuh depresi dan suka tentunya.

Sepertinya baru kemarin sahabat saya meninggalkan dunia dan hari ini tepat satu
tahun ia pergi.

Rasanya baru minggu lalu saya menapaki tanah tertinggi di Pulau Jawa.

Ah..waktu bergulir dengan deras, sederas sungai Serayu ketika sAya mendatanginya

Lembaran baru siap saya tulis dengan cerita yang lebih berwarna daN lebih menarik tentunya.

Selamat datang tahun pengharapan baru!
resolusi baru dan mungkin usang yang harus tetap saya perjuangkan!

Thursday, November 18, 2010

Untuk Merapi


Pagi itu kereta api progo terlambat tiba di Stasiun Lempuyangan. Kedatangan Saya ke Jogja kali ini bukan untuk berplesir atau menonton persija berlaga, melainkan untuk menyalurkan bantuan yang berasal dari komunitas suporter di Jakarta untuk korban erupsi gunung merapi. Di stasiun saya dijemput oleh rekan saya dan langsung menuju daerah Condong Catur, Sleman. Penginapan yang saya tinggali hanya berjarak satu kilometer dari stadion maguwoharjo atau berjarak 25 kilometer dari Puncak Merapi. Sore hari dari Condong Catur terlihat kegagahan Merapi dengan kepulan asap yang membumbung tinggi.


Malam hari di Sleman sangat berbeda dengan di Jogjakarta, kondisi di Sleman lebih sepi ketika malam menjelang. Hal tersebut saya rasakan ketika harus membeli beberapa kebutuhan pokok guna melengkapi beberapa keperluan esok hari. Hujan debu meski tipis tetap menyesakkan dada serta membuat mata perih ketika saya mengendari sepeda motor mengeliling Sleman. Praktis tak ada kegiatan yang saya lakukan, selain berkoordinasi dengan posko jalin merapi untuk menentukan posko pengungsian yang akan didistribusikan kebutuhan bagi para pengungsi.


Minggu pagi hujan debu lebih terasa dan jelas terlihat daripada malam hari, keadaan tersebut membuat saya sedikit panik dan bergegas menggunakan masker. Mobil pick up bersiap mengantar saya dan beberapa teman menuju muntilan di Magelang. Ketika memasuki daerah Muntilan saya benar-benar terhenyak ketika menyaksikan pepohonan di sepanjang mata saya memandang mati mengering. Jalan raya tak ubahnya jalan kampung penuh debu dan jarak pandang tak lebih dari 10 meter. Disini saya melihat Merapi yang berbeda daripada beberapa bulan sebelumnya saya lihat, merapi sedang murka pikir saya.


Kondisi di posko jalin merapi tak jauh beda, debu-debu menutup semua peralatan para relawan yang terus bekerja tanpa pamrih. Saya benar-benar ingin teriak melihat kegigihan para relawan, tanpa harus menggunakan lambang di dada atau bendera di sepanjang jalan seperti yang dilakukan parpol. Tak ada maksud untuk menyombongkan diri atau pamrih dengan memberi bantuan secara langsung, saya ingin Merapi kembali indah, saya ingin lereng-lereng kembali dipenuhi masyarakatnya yang bercocok tanam dengan hidup arif, saya ingin mereka benar-benar kembali hidup berdampingan dengan merapi, merapi yang indah seperti beberapa bulan yang lalu saya kunjungi.

Wednesday, October 27, 2010

Berkacalah Jakartan!




Lagu Hujan jangan marah dari Efek Rumah Kaca sepertinya sangat tepat menggambarkan anomali cuaca yang terjadi saat ini, khususnya di Jakarta. Hujan dan petir sepertinya sedang hinggap di langit Ibukota beberapa pekan ini. Tentunya hujan yang mengguyur Jakarta akan menyebabkan ‘genangan’ (red; menurut Foke) dan efek domino, yakni kemacetan di jalan-jalan Jakarta. Banjir dan macet adalah dua permasalahan besar Jakarta yang belum bisa terselesaikan hingga kini. Terlepas dari letak geologis tanah Jakarta yang memang lebih rendah dari permukaan laut, kondisi tata ruang dan kesadaran warganya menjadi fokus tersendiri.

Kejadian beberapa hari lalu ketika Jakarta dikepung kemacetan dan banjir yang terparah dalam 3 tahun terakhir, banyak dari kita yang memaki dan mencaci para stake holder kota ini. Tentu saja semua bermuara kepada Fauzi Bowo a.k.a Foke selaku Gubernur DKI Jakarta. Dari beberapa statement dapat diambil sebuah benang merah jika warga Jakarta sudah muak dengan kondisi ini dan menginginkan suatu tindakan cepat dan tepat dari Pemerintah DKI Jakarta.

Tindakan dari Pemerintah DKI Jakarta memang perlu dilakukan sebelum kemacetan dan banjir ini ‘membunuh’ warganya di jalan-jalan ibukota. Tapi pernah kah terpikir jika tindakan progresif revolusioner yang diambil oleh Pemda DKI Jakarta juga harus diikuti tindakan kooperatif kita semua. Siapkah anda harus menumpang angkot? Siap kah anda menggunakan BBM non subsidi? Atau siap kah kita tidak perlu menggunakan jasa joki 3 in 1? Dan masih banyak pertanyaan lainnya mengenai kesediaan kita untuk sedikit berkorban demi mengurai masalah ini. Kebijakan sebagus apapun tanpa adanya partisipasi dari kita semua tentunya hanya akan menjadi sia-sia. Teringat akan diskusi saya dengan sebuah LSM beberapa waktu lalu, dalam diskusi tersebut terungkap bahwa mayoritas warga Jakarta hanya menjadikan Jakarta sebagai ‘ladang uang’. Mereka tak akan peduli dengan kondisi lingkungan sekitar, terpenting bagi mereka adalah mendapatkan uang dari Jakarta. Sebuah fakta yang sangat ironis!


Jakarta adalah rumah kita semua, tempat kita bernaung tak peduli asal-usul kita. Jika kita semua merasa belum mampu dan saya yakin mayoritas dari kita hanya mampu menuntut tanpa ada mau sedikit berkorban, lebih baik tak usah mencaci maki., atau mungkin lebih baik kita kembali ke kampung halaman kita saja! Banjir dan macet adalah masalah oldschool yang terpola, bahkan dari zaman kolonial. Tinggal bagaimana kita mau menyikapinya dan tindakan dari Pemda DKI Jakarta sebagai pengambil kebijakan kita tunggu, kebijakan yang cepat dan tepat! Semua perlu pengorbanan Pemda Dki dan kita semua selaku warga yang ‘baik’.

Alam tak pernah marah, semua yang terjadi adalah refleksi apa yang kita lakukan selama ini. Mulailah mengubah pola pikir dan tindakan, buang semua ego dan rasa malu kita semua. Status sosial kita tak akan ditelanjangi bulat-bulat hanya karena kita beralih dari mobil menjadi motor/angkot. Jakarta kota gue, elo, dan kite semua, jangan cengeng hidup dimari. Sampai detik ini dan selamanya gue akan selalu bilang AKU CINTA J.A.K.A.R.T.A!

Wednesday, October 13, 2010

13-10-10

Aku terbangun dari tidur yang sangat tidak nyenyak, pikiran bercabang tak tentu arah. Berharap ada secercah harapan esok hari. Di Kamar tak ada yang ku lakukan kecuali diam dan menghayal apa yang akan terjadi esok. Pagi menyingsing dan aku tak tak bisa tidur, sidang yang akan beberapa jam lagi ku hadapi membuat ku gelisah sepanjang malam.


Sidang ku hadapi dengan sangat gugup, sakit perut terus mengiringi ku saat sidang skripsi. Pertanyaan demi pertanyaan mampu ku jawab walau terkadang menghadirkan gelak tawa penguji dan penonton sidang. Yap, aku memang terkenal konyol di kalangan teman kampus ku, entah mengapa mereka bisa menilai aku sebagai pribadi yang konyol dan yang pasti tidak peka terhadap perasaan wanita, ah entah lah. Hampir satu jam kemudian sidang selesai dan aku berharap-harap cemas mengenai hasil sidang, dan syukur Alhamdulillah aku lulus..hoosshhh..


Perasaan bercampur aduk ketika mendengar pengumuman tersebut, akan tetapi mayoritas cabang-cabang pikiranku bermuara pada satu hal, perjuangan. Yap, perjuangan ku selama hampir 7 bulan ini tak sia-sia. Begitu banyak cobaan dan keegoisan yang telah aku lakukan. Selama mengerjakan skripsi hampir tiap bulan aku mendaki gunung bahkan pernah sampai ada yang dua pendakian di dalam satu bulan. Banyak foto yang sengaja aku tidak unggah agar teman-teman ku tidak menilai diriku sebagai orang yang gila jalan. Akan tetapi dari semua perjuangan itu, hal yang paling aku syukuri adalah aku mampu mengkhatamkan Al-Quran di malam sebelum aku sidang, selain itu aku mampu mencapai tanah tertinggi di PuLau Jawa, Mahameru!. Semeru memendam kisah sendiri buat diri ku, bertahun-tahun gagal untuk pergi mendakinya, hingga aku pernah berujar jika aku harus menggapainya sebelum lulus kuliah, alhamdulillah semua dapat terkabulkan.


Lulus bukan berarti telah berakhirnya perjuangan, akan tetapi awal dari perjuangan yang lebih berat kedepannya. Banyak pendakian-pendakian kehidupan yang menantang di depan, bak pasir mahameru yang bisa menelan siapa saja yang tak mampu survive ketika melewatinya. Semoga aku mampu melewatinya, sebagaimana aku menggapai 3676 mdpl dan berguna bagi individu lain di sekitar ku. Amin! (Kamar sumpek, 13-10-10)

Tuesday, August 3, 2010

Perjalanan hati ku tapaki


Berjalan tanpa henti menyusuri watu rejeng

Keindahan ranu kumbolo menjadi penghilang semua dahaga

Menapaki tanjakan bermitos terengah-engah

Melihat hamparan rumput dan bunga saling bersahutan

Cemara berbaris rapi menemani perjalanan

Tanah lapang tempat bunga abadi menunjukkan keindahannya

Arcapada tempat pertapaan dewa siwa

Batu nisan yang berbaris rapi dan membeku

Lautan pasir yang tak kenal kompromi

Gas beracun yang dapat merenggut jiwa siapa saja.

Demi puncak abadi para dewa, pusat budaya Jawa kuno

Semua dilakukan bukan tanpa maksud

Bukan eksistensi diri atau kesombongan

Perjalanan hati mencari jati diri manusia

Manusia yang kecil dihadapan-Nya

Di 3676 mdpl tersadar atas semua dosa dan khilaf

Menjadi pribadi peka terhadap sekitar

Buang semua rasa ego dunia demi bekal hidup kelak

TERIMA KASIH MAHAMERU!

Monday, August 2, 2010

Budaya Hindu Kuno


Sejarah Bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peradaban hindu kuno yang telah lebih dahulu ada dari agama Islam. Hindu telah berkembang pesat di Pulau Jawa sejak abad ke-8, kedatangan para pedagang Islam telah membawa pengaruh besar terhadap budaya Hindu di Indonesia. Islam telah tumbuh dan berkembang menjadi agama mayoritas. Hal tersebut juga membuat banyak kerajaan yang berlatar belakang agama islam melakukan perluasan daerah ke daerah-daerah kekuasaan kerajaan hindu. Akibatnya banyak para penganut hindu yang merasa terdesak dan akhirnya melarikan diri ke daerah pegunungan bromo dan tengger. Sisanya menyebrang ke Bali dan menghasilkan kebudayaan Bali yang seperti saat ini dikenal. Masyarakat yang berdiam di pegunungan-pegunungan tetap berpegang teguh pada budaya nenek moyang mereka.

Bukti peninggalan hindu kuno di pegunungan bromo adalah arca kuno di pinggiran Ranu kumbolo, sebuah danau di ketinggian 2300an meter dari permukaan laut (mdpl). Selain itu masih terdapat peninggalan lain di tanah lapang yang tidak terlalu luas di leher gunung semeru, batu tersebut bernama arcopodo. Berdasarkan buku-buku yang pernah saya baca, batu tersebut berukuran tidak terlalu besar. Salah seorang pendaki ternama Indonesia, Herman Lantang dan norman edwin berhasil menemukan arca tersebut. Saya pun pernah melihat foto beliau bersama arca kembar tersebut. Akan tetapi pada waktu saya ke semeru saya tidak menemukan arca kembar teserbut. Mitos yang berkembang adalah hanya orang-orang tertentu yang mampu melihat arca tersebut dan dalam ukuran yang berbeda-beda. Versi lain menyebutkan arca tersebut telah dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab, entah versi mana yang benar.

Budaya hindu tengger dan Bali tidak dapat dipisahkan dari perkembangan agama Hindu di Indonesia. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu gunung Semeru adalah induk dari Gunung Agung di Karang asem, Bali. Maka tak heran jika bulan-bulan tertentu Gunung Semeru ramai dikunjungi oleh masyarakat hindu Bali. Mereka mempercayai dewa shiwa berdiam di puncak semeru. Selain itu didalam kepercayaan mereka, mata air sumber mani yang terletak 1 jam dari kalimati adalah salah satu mata air yang dikeramatkan oleh masyarakat hindu. mata air lain yang dikeramatkan terletak di Gunung Rinjani, tepat dekat danau segara anakan. Keduanya pernah saya kunjungi ketika mendaki Rinjani dan Semeru, terlihat banyak “sesaji” masyarakat yang meminta pituah disana.

Dari analisa pendek diatas jelas bahwa masyarakat Jawa dan Bali masih memiliki keterikatan budaya, yakni budaya hindu kuno yang sampai detik ini masih bertahan di dinginnya pegunungan bromo tengger semeru. berdasarkan pengamatan saya, budaya tengger tak terpengaruh asimilasi budaya Jawa dengan Jogja dan solo sebagai pusatnya. meskipun begitu, budaya Jawa tak dapat dipisahkan dari keberadaan mereka sebagai kebudayaan pertama di Pulau Jawa.
Semoga warisan budaya ini akan tetap bertahan dan terus ada di pegunungan para dewa.

Tulisan ini hanya didasarkan pada pengamatan dan analisa sempit saya setelah mendaki gunung Rinjani dan Semeru. Sehingga mohon maaf apabila terdapat kekeliruan

Saturday, June 19, 2010

My favourite adventure quotes




"Because it's there"
-- George L Mallory, British Mountaineer

“It is not the mountain we conquer but ourselves.”
--Edmund Hillary New Zealander mountain climber and Antarctic Explorer Famous for being first to succesfully climb Mount Everest

"You don't have to be a fantastic hero to do certain things - to compete. You can be just an ordinary chap, sufficiently motivated to reach challenging goals."
-- Sir Edmund Hillary

"No mountain is worth even a finger or a toe to frostbite. Return home is real success. Summit is only bonus".
--Alan Hinkes, British 8000er meter climber

“It was our preparation, knowledge and experience that kept us alive.”
--Rachel Kelsey, South African born British Mountaineer

“There can be no happiness if the things we believe in are different from the things we do.”
--Freya Stark (French adventurer and explorer 1893-1993)

“I am prepared to go anywhere, provided it be forward.”
--David Livingstone, Scottish missionary and explorer, 1813-1874

“The best way to observe a fish is to become a fish”
--Jacques Cousteau (French Explorer, 1910-1997)

“To awaken quite alone in a strange town is one of the pleasantest sensations in the world.”
--Freya Stark (French adventurer and explorer 1893-1993)

“Nobody climbs mountains for scientific reasons. Science is used to raise money for the expeditions, but you really climb for the hell of it.”
--Edmund Hillary

Mountains are not fair or unfair - they are just dangerous.
--Reinhold Messner, Tyroll seven summitter

Unusual travel suggestions are dancing lessons from God.
--Kurt Vonnegut, American writer

The mountains will always be there, the trick is to make sure you are too.
--Hervey Voge

You've climbed the highest mountain in the world. What's left ? It's all downhill from there. You've got to set your sights on something higher than Everest.
--Willi Unsoeld, First American Everest Summitter

Near the foot of the mountain we visited a yogi who dwelled in a hollow tunneled beneath a boulder. He pondered our notion of climbing Shivling and said: "First travel, then struggle, finally calm."
--Greg Child, Australian born American Climber/Adventure photographer&author

" - You guys going up ? - Yes, yes, we go up - You may be going a lot higher than you think!"
--Don Whillans (British mountaineer), to a Japanese party, while descending Eiger

"Bohong! Kalo ada yang bilang naik gunung enggak capek"
--Stiker di toko outdoor gears, Jl. Bratang, Surabaya


http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1159563

Tuesday, May 25, 2010

Alay versus be yourself ; fenomena "memarjinalkan" orang lain.

Apa yang ada dipikiran anda ketika mendengar kata ALAY? mungkin akan terlintas dipikiran kita adalah norak, kampungan atau kata-kata lain yanng menggambarkan keanehan mereka. Rasanya sudah banyak yang menulis tetang ciri-ciri ALAY, dari selera berpakaian, musik, hingga gaya mengetik sms. seperti yang tertuang dalam lirik lagu superglad,

oto dengan angle dari atas
mulut sedikit manyun
tanpa harus tersenyum
maaf dibilang ko’
jadi’in kita CAPCUZ
apayu,gibi,hum
kuku,,narcizna,,gingapdi,,FACEBOOKna,,
manggil ga di ONLINE..
cHayaNk dach muncul~~
…ae lupP yuU…
gw bingung jadi duduk
henggezna,,oyukeeuna,,oyuluthuna,,
perezna,,oyucantiekna,,oyugepona,,

Tulisan ini tak bermaksud mendeskreditkan orang-orang yang dikategorikan ALAY seperti yang tertulis di situs-situs pertemanan tersebut, tetapi ingin lebih mengurai fenomena ini.


Fenomena ALAY sebenarnya bukanlah fenomena baru, tetapi merupakan metamorfosa dari fenomena sejenis yang tumbuh beberapa dekade sebelumnya. saya masih ingat ketika masih di sekolah dasar, kata-kata "gaul" yang merupakan plesetan ataupun pemenggalan kata tumbuh berkembang. JIka melihat jauh kebelakang era Warkop DKI juga marak pemakaian kata-kata "aneh" yang sering diucapkan lewat media tv dan radio.
Memasuki era 2000an, ketika alat telekomunikasi berupa HP bukan merupakan barang mewah dan berubah menjadi barang kebutuhan, maka saat itu budaya mengetik sms dengan gaya tak beraturan berkembang. Handphone saya anggap media yang sangat berperan dalam budaya ALAY.

Disini saya ingin mengajak anda untuk melihat perspektif lain akan budaya ini, budaya lama yang bermetamorfosa dengan bungkusan baru. tentu kita semua tahu konsep be your self, jadilah diri sendiri. saya ingin anda melihat fenomena ALAY dengan mengaitkannya dengan konsep BY. tentu kita sering berteriak lantang, jadilah diri sendiri dan sering menghakimi seseorang dengan kata "marjinal" ALAY, akan tetapi yang perlu kita cermati adalah jika seseorang yang kita anggap ALAY tersebut memang merasa itu jati diri mereka, apakah masih pantas kita menyebut mereka dengan ALAY??! Saya rasa tak pantas, ketika mereka merasa nyaman dan memang itu jati diri mereka jadi hormati lah mereka dengan segala polanya.


Mungkin, banyak yang beranggapan budaya ALAY adalah budaya mengekor, merembet dari satu orang ke orang lain. Jika demikian adanya konsep BY tak dapat diaplikasikan disini, akan tetapi masih pantaskah kita terus menghakimi mereka? saya rasa tidak, kenapa? karena budaya ini adalah budaya yang telah ada beberapa dekade sebelum kita terlahir, bedanya hanya muncul dengan pola yang berbeda.


Satu hal lagi yang membuat saya benci dengan fenomena ini adalah munculnya orang-orang yang merasa lebih baik dari mereka yang dianggap ALAY. kata ALAY tak ubahnya kata alat untuk "memarjinalkan" orang lain. kata yang sama menurut saya seperti TOLOL, GOBLOK DLL.
Damned! kembali saya lihat ulah sombong manusia yang selalu berperan menjadi lakon hakim dalam sandiwara bernama kehidupan, hakim dalam segala hal yang berhak menilai orang lain lebih rendah
Sudahlah berhenti menghakimi orang lain, biarkan mereka merasa nyaman denan semua yang kita anggap ALAY, hadapi dengan tenang dan tak perlu emosi.

JADILAH DIRI SENDIRI APAPUN ITU!!

Wednesday, May 12, 2010

because it's there




Mereka bilang saya gila, mereka menyebut saya lari dari tanggung jawab, tetapi saya jawab ini cara menikmati hidup. disaat tugas akhir semakin mendekati deadline dan semua orang berpacu mengejarnya, saya justru memilih pergi mendaki gunung Gede, gunung yang entah sudah berapa kali saya daki, tapi tak pernah sedikitpun timbul rasa bosan.

Hidup cuma sekali, ya sekali. terlalu sayang jika hanya menjalankan hal-hal yang bersifat rutinitas, akan tetapi hal tersebut bukan berarti saya mengabaikan kewajiban saya sebagai mahasiswa tingkat akhir. saya lebih senang jika hidup saya berada dititik keseimbangan antara kewajiban dalam hal apapun dengan hak saya yang saya konversikan kedalam hobi-hobi saya, salah satunya adalah mendaki gunung.

ketika saya berpikir kehidupan kota membuat prinsip hidup saya dikerdilkan dengan ambisi dan ambisi yang membuat mata menjadi kalap akan materi, alam dapat menjadi alat netralisasi diri saya akan semua itu. Bukannya saya tak memiliki ambisi dalam hidup, ambisi itu perlu untuk menjadi pemacu semangat hidup. Akan tetapi sangatlah naif jika hidup ini dirongrong ambisi. apalagi jika tak tercapainya apa yang diinginkan.

Di Alam saya menemukan arti Tuhan yang hakiki, jujur saya akui bahwa diri saya bukanlah seorang religous yang taat. Akan tetapi di alam saya benar-benar merasa jika Tuhan itu berdiri tegak di depan saya dengan segala kebesaran-nya, berbeda dengan di kota yang menurut saya Tuhan hanya ucapan formal dalam kehidupan sehari-hari.

Semua rasa lelah akan terbayar ketika menjejakkan kaki di puncak, jika dianalogikan dengan kehidupan nyata, menggapai puncak sama halnya menggapai satu tujuan dalam hidup. penuh pengorbanan dan terjal. tetapi semua terbayar ketika mampu menggapainya.
Tak ada yang instant dalam hidup ini, semua diperoleh dengan kerja keras.


Dan hingga tulisan singkat ini ditulis, saya masih bekerja keras untuk skripsi saya....NEVER GIVE UP!

Sunday, May 2, 2010

May day;



Awal Mei kemarin adalah tepat hari buruh. Sebuah hari besar bagi kaum buruh untuk sedikit merefleksikan kembali hak-hak mereka. Sejarah pergerakan buruh di Indonesia memiliki cerita panjang, dimulai dari era kolonial saat industri perkebunan milik bangsa penjajah mulai didirikan. saat itu untuk mengakomodasi kepentingan buruh maka dibentuklah serikat buruh, maka saat itu pulalah dimulai pergerakan buruh di Indonesia. Hingga detik ini pun mereka masih terus berjuang untuk menuntut hak mereka.


Berbicara pergerakan buruh di Indonesia tentu tak dapat dilepaskan dari nama seorang Marsinah. seorang pejuang hak-hak buruh di era 90-an yang harus meregang nyawa akibat tewas dianiaya oleh pihak-pihak yang tidak menyukai pergerakan Marsinah bersama rekan-rekan buruh lainnya di Sidoarjo, tepat 17 tahun yang lalu.

Dari semenjak era kolonial hingga reformasi cerita tentang buruh tak jauh dari perampasan hak-hak dan hubungan yang tak seimbang antara buruh dan pihak industri. Era Soeharto merupakan masa dimana organisasi buruh ditekan oleh pemerintah, pemerintah orde baru membuat organisasi guna menandingi pergerakan buruh. Memasuki era reformasi penindasan terhadap buruh justru semakin jelas terlihat. Mulai dari sistem outsourcing sampai sistem cuti yang dirasa belum memenuhi rasa keadilan.


Sadar atau tidak buruh adalah garda terdepan pada perekonomian negeri ini. seharusnya mereka lah yang harus dilindungi bukan korporasi kapital yang meluluhlantakkan ekonomi lokal lewat sistemnya. Buruh hanya menjadi alat sapi perah pemodal guna mencetak pundi-pundi keuntungan tanpa harus memperdulikan hak-hak mereka. Rasanya apa yang diperjuangakan Marsinah hingga detik ini belum dapat tercapai, semoga ada marsinah-marsinah lain yang memperjuangkan hak mereka.
SELAMAT HARI BURUH.

Friday, April 16, 2010

Teman Sampai Akhir




Yap, teman sampai akhir adalah judul lagu dari band indie hidden message. setiap kali mendengarnya saya selalu teringat almarhum rendi azhari/bejo. sebenarnya sudah lama saya ingin menulis tentangnya, namun saat itu saya belum memiliki kekuatan lebih tuk menulisnya. Setelah hampir 100 hari sejak ia meninggal, saya baru ada sedikit keberanian untuk sekedar berbagi cerita ini kepada orang lain.


"Eh pantat burung" atau "si lohan", ya seperti itulah ia memanggil saya, kedua panggilan tersebut dikarenakan kebiasaan saya selalu buang air besar setiap pergi mendaki gunung dan juga dahulu saya pernah memelihara ikan lohan. tak sedikit pun rasa marah saya jika dipanggil demikian, karena saya telah mengenal sosoknya sejak kelas 5 SD. Ketika kami menamai perkumpulan kami yang mayoritas alumni SDI AL Bayinah dengan nama campsel..

Sekarang sudah lebih dari 100 hari ia meninggalkan kita semua. tapi saya merasa ia masih hidup. terkadang ketika bermain ke rumahnya saya seringkali bertanya tentang keberadaannya. begitu banyak cerita yang saya jalankan dengan ia, mulai dari hal-hal konyol sampai hal serius. Jika bisa memutar waktu saya ingin melewati tahun baru 2010 itu, tahun baru yang paradoks. disaat semua orang bersuka cita di jalan-jalan, tapi saya dan yang lainnya melantunkan surat yasin.

Perjalanan ujung genteng adalah perjalanan terakhir bersamanya. tapi suatu saat saya pasti akan balik lagi, mengenang kekonyolan yang pernah dilakukan disana, naek ojeg sambil mengenakan sarung. Biarlah semua yang telah terjadi menjadi cerita saya untuk anak cucu saya nanti. terpenting ketika ia telah pergi, campsel semakin kompak dan tetap bermain di rumahnya, sekedar menghibur orang seisi rumah.


Beristirahat lah dengan tenang teman, saya dan mereka hanya bisa mendoakan mu.
celotehan mu tetap kami ingat sepanjang masa.



Teman...
kau semangatku...
bangkitkan saatku jatuh
walau ku terhempas kau tak pergi jauh

Slalu...
dijiwaku...
canda tawamu berikan aku
secerca harapan untuk terus maju

Tak akan ada lagi sedih sepi yang kan menghampiri
karna kau ada disini...temani...
ku yakinkan engkau teman sampai mati

Teman...
kaupun tahu...
hidupku hanya untukmu
walau biru langit akan runtuh

Tak akan ada lagi sedih sepi yangkan menghampiri
karna kau ada disini...temani...
ku yakinkan engkau teman sampai mati

(Never leave...)

Dan kini...kaupun telah pergi meninggalkan temanmu ini...
dirimu tak akan terganti walau kini kau tak ada disini...

Monday, April 5, 2010




Peninggalan yang dilupakan di tengah pembangunan Jakarta.

Soe Hok Gie, Sekali Lagi....


Now, i see the secret of the making of the persons
It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth

Sebuah petikan dari walt whitman yang begitu sering diucapkan oleh Soe Hok Gie, termasuk dalam buku Soe Hok Gie, Sekali lagi...Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Buku yang benar-benar memberikan sudut pandang yang lebih luas tentang sosok Gie karena buku ini merupakan pandangan sejumlah orang baik yang mengenal Soe Hok Gie atau mereka yang hidup di zaman setelah ia wafat di Mahameru, tepat 40 Tahun yang lalu. Buku ini tentu berbeda dengan buku-buku sebelumnya, baik Catatan Seorang Demonstran ataupun Lentera Merah yang merupakan pemikiran Gie.

Buku ini seperti ingin menjelaskan sosok gie secara utuh, bukan seperti yang dahulu saya tahu. Pertama kali mengenal sosoknya adalah ketika saya melihat kaos bergambarkan siluet muka Gie, waktu itu tak ada yang saya tahu tentangnya. Film Gie karya Riri Riza pun hanya memberikan saya sedikit deskripsi tentangnya, seorang pecinta alam dan kritikus tajam pemerintah tanpa tahu lebih dalam sosoknya. Setidaknya, setelah membaca buku tersebut menambah wawasan saya tentangnya.

Pecinta Alam sejati, mungkin itu yang dapat saya sematkan padanya. Pandangannya tentang filosofi mendaki gunung sangat mendasar tapi subtansial. Menurutnya tak mungkin nasionalisme tumbuh jika tak mengenal objeknya secara langsung, salah satu caranya ialah dengan mendaki gunung. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, apakah pernyataan tersebut seperti tameng sebuah hobi? Saya rasa tidak, karena saya pun merasakan apa yang dimaksud pernyataan gie. Selain itu, Gie adalah sosok seorang pembuat kritik pedas kepada siapapun, tentu banyak dari kita yang sepakat akan hal ini. Era Gie, 1960-an adalah era dimana kondisi politik mengalami instabilitas. Perang NASAKOM dengan PANCASILAIS telah membuat kondisi negara semakin parah. Kita pun tahu bahwa kepemimpinan Bung Karno tumbang setelah tragedi gestapu, ia pula yang turut menumbangkan sang Proklamator dari kursinya dan berganti dengan era Soeharto. Ketika teman-teman seperjuangan dalam menurunkan Bung Karno lebih memilih untuk duduk di bangku pemerintahan, ia justru lebih memilih sebagai orang yang berada diluar pemerintahan dan tetap kritis kepada pemerintah. Itu sebabnya ia terkenal sangat idealis, idealis sejauh-jauhnya.

Gie adalah sosok yang unik menurut saya, hobi dan pandangan-pandangnnya yang kritis seperti terbalik dengan kehidupan asmaranya, ia sosok introvert. Mungkin itu sebabnya, hingga akhir hayatnya ia masih sendiri. Slogan buku, pesta, dan cinta memang benar-benar tepat untuknya. Ia pemikir, petualang, dan memiliki perasaan mengenai cinta, meski di buku-buku yang pernah saya baca tak pernah mengumbar secara jelas apakah ia berpacaran atau sekedar memendam perasaan suka pada lawan jenis. Rasanya sulit menemukan sosok penggati gie hingga saat ini, entahlah. Tetapi satu hal yang pasti, berkat sosoknya saya seperti memiliki cara yang lebih luas dalam hidup, dalam menilai sesuatu secara lebih komprehensif. Ketika disekitar pragmatis dan cenderung egois ia tetap idealis sejati dan lebih memilih mendaki gunung untuk merenung atas apa yang telah diperbuatnya. Mengenalnya meski lewat buku dan artikel membuat saya tak pernah menyesal menghabiskan uang untuk mendaki gunung, mencari sedikit pelajaran hidup dan pengalaman yang tak akan saya dapatkan di bangku akademis.

Akhirnya, biarlah sosoknya tenang di Mahameru, puncak raja-raja Jawa. Sekarang tinggal bagaimana kita sebagai generasi berpuluh-puluh tahun setelahnya untuk benar-benar mewujudkan apa yang menjadi pemikirannya. Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang bermartabat, negara yang mengedepankan nilai-nilai keadilan serta menjunjung HAM. Mungkin benar adanya hidup bukan hanya spektrum hitam dan putih saja, selalu ada ruang abu-abu ditengahnya, jalan bagi mereka yang pragmatis dan egois. Beruntunglah ia mati muda karena telah memberikan sumbangsih yang amat besar. Semoga kita bukan hanya generasi pesta dan cinta saja! THE ANGRY YOUNG MEN!

Camerado, I give you my hand
I give you my love more precious than money
I give you myself before preaching or law
Will you give me yourself?
Will you come travel with me?
Shall we stick by each other
As long as we live?

2009-2010


Tak terasa waktu terus berputar dengan cepatnya, hingga dalam hitungan jam akan berganti lembaran baru, lembaran 2010. Senang dan sedih berpadu menjadi irama padu sebuah lakon bernama kehidupan.
lakon yang selalu berputar bak roda pedati. Atas membuat bangga setengah mati dan bawah membuat menyesal serta mengeluh ketidakadilan lakon kepada Tuhan, sadar atau tidak itu ada dan nyata dalam hidup ini.

lembaran tersebut diganti bukan dengan uang yang keluar pecuma untuk sebauh kenistaan, lembaran itu diganti dengan melihat terlebih dahulu di lembaran sebelumnya dan membuat hal-hal yang akan diisi di lembaran berikutnya. semua lembaran itu menjadi satu kesatuan, akan lebih menarik jika dibaca tiap bait kata dalam tiap lembarnya. semua akan menjadi padanan sempurna yang lengkap dalam lakon sementara kehidupan, terlepas dari atas atau bawahnya roda pedati.

Satu hal yang pasti, Sang Pencipta hanya memberikan lembaran kosong dengan alur cerita yang telah ditentukan dan sang lakonlah yang memerankannya sebagai aktor-aktor kehidupan. akhir cerita akan sangat ditentukan sang aktor.



* semoga kita dapat mengisi lembaran baru dengan sesuatu yang lebih bernilai dan bermanfaat bagi kehdiupan dunia dan akhirat kita.

Pegadaian Idealisme

Akhir-akhir ini sepertinya kata idealis selalu terngiang di otak saya, entah merasa sok idealis atau saya memang sudah muak melihat acara musik di tv. Rasanya tak perlu saya sebutkan acara musik dari pagi sampai sore yang berkeliaran di tv kita dan “merusak” telinga ini. Kenapa gw bilang merusak? Karena semua seragam!!! Sepertinya memang sudah menjadi tabiat bangsa ini tuk terus mengekor atau menjadi plagiat sejati. Ketika suatu trend musik sedang diminati maka berbondong-bondong ikut dalam trend tersebut. Saat ini yang jadi trend musik adalah Metal (melayu total).

Disini saya tak bermaksud menyalahkan kehadiran band-band tersebut akibat keseragaman musik Indonesia. Tetapi saya lebih melihat bahwa keseragaman ini adalah ulah para major label yang ingin mencari keuntungan sesaat ketika trend musik melayu sedang naik daun (red, bukan hijau daun). Band-band tersebut umumnya berada dibawah major label, suatu hal yang 5-6 tahun lalu suatu kemustahilan ketika musikalitas sangat buruk, tampang tak layak jual (red, gak nyindir siapapun) mencoba “melamar” ke major label. Parahnya, ada satu major label yang saya nilai semua bandnya tak berkualitas. Siapa dia? Coba tebak!

Para major label saat tak ubahnya seperti tempat pegadaian idealisme. Ketika ada band yang ingin memberikan demo yang secara mainstream berlawanan dengan trend meskipun band tersebut berkualitas secara musikalitas maka bersiaplah untuk ditolak. namun, ketika secara genre band tersebut sesuai dengan trend maka akan dikontrak tanpa melihat kualitasnya! Adapun mereka masih akan menerima band-band idealis dengan syarat “menggadaikan” idealisme mereka dan harus tunduk dengan trend!!! Saya tidak anti dengan musik melayu, tetapi alangkah baiknya bila kita hidup dengan budaya kita sendiri, budaya musik Indonesia yang memiliki kekhasan sendiri. Budaya yang digandrungi bahkan oleh mereka ditempat asal budaya musik melayu! Ketika mereka saja tak menyukai budaya mereka sendiri, lalu kenapa kita amat menggilai budaya mereka? Aneh!

Jadi jelaslah bahwa trend seperti ini disebabkan pula oleh para major label yang menurunkan standar band-band yang akan dinaunginya sehingga band-band yang seharusnya tak masuk major label akhirnya dapat masuk dan menikmati uang dengan bermodalkan satu lagu lewat RBT! Meskipun secara pribadi saya juga kurang suka dengan band-band tersebut. Tetapi saya harus objektif karena trend ini bukan sepenuhnya salah mereka.

Whey: Dan biarkan mereka terus datang dan pergi, cekoki manisnya trend selling out band. Hempaskan hadapi dan mentahkan semua, esensi musik kita tak pernah mati!!

Maaf bila menyinggung teman-teman yang menggilai band tersebut!

Surat Dari Kaki Merbabu


Tenang adalah hal pertama yang saya rasakan ketika menjejakkan kaki di Desa Kedakan, Magelang. Desa terakhir yang berada di kaki taman nasional Gunung Merbabu. Sekilas tak ada yang beda dengan desa sembalun di kaki Rinjani atau bahkan desa di kaki Taman Nasional Gede Pangrango, Puncak. Udara Sejuk serta masyarakatnya yang mayoritas bekerja di bidang agraris adalah hal yang saya temui di desa-desa dataran tinggi, termasuk di Desa Kedakan. Suasana bersahabat penduduknya mengingatkan saya pada penjaga penangkaran penyu daerah Cibuaya, Ujung genteng.

Waktu masih menunjukkan Pukul 12.05 WIB ketika hujan kembali turun dengan derasnya. Kabut pun ikut turun dengan kencang dari perbukitan sekitar desa menyapu rumah-rumah dengan butiran air. Tetapi bukan suasana dan keramahtamahan penduduk Desa itu yang mengusik rasa ingin tahu saya, ada sebuah bangunan kecil seperti masjid tanpa kubah dan pengeras suara seperti yang sering saya temui yang menyita perhatian saya. Ketika jam tangan teman saya menunjukkan pukul 12.15 wib terdengar adzan dzuhur, saya pun mencari sumber suara adzan tersebut. Awalnya saya berpikir suara itu berasal dari bangunan yang saya anggap masjid tersebut, ternyata suara itu berasal dari sebuah masjid diatas base camp pendakian.

Pendakian pun segera dimulai dengan melakukan observasi peta jalur terlebih dahulu. Pada peta tersebut ternyata bangunan yang saya kira masjid adalah sebuah gereja. Awalnya saya berpikir tak mungkin ada sebuah bangunan peribadatan selain masjid/mushola di desa ini, ternyata dugaan saya salah, Desa Kedakan adalah Desa yang majemuk. Sesaat kemudian saya teringat pada sebuah spanduk berisikan kecaman yang mengatasnamakan warga atas pendirian sebuah gereja, spanduk tersebut terpasang sangat jelas disebuah jalan perbatasan Jakarta-Depok, cukup 5 menit dari rumah saya. Dua hal tersebut menarik untuk saya cermati ditengah hujan yang semakin deras di Desa Kedakan.

Di Sebuah tempat yang kita anggap terbelakang serta terpencil dari “peradaban” kota. Mereka mengajarkan saya arti toleransi tanpa harus menggurui apa definisi dari toleransi dan prinsip-prinsip toleransi. Mereka telah melakukannya lebih dahulu tanpa harus berteriak lantang atas nama HAM atau bahkan sebelum para pelaku liberalisasi agama mencoba menanamkan arti toleransi yang kebablasan. Disini mereka melakukannya tanpa harus bersinggungan, bakar-membakar, atau bahkan intimidasi. Rasanya kita sebagai orang yang tinggal di kota dan pihak pemberi label berpendidikan dan terbelakang harus belajar arti pentingnya toleransi. Mungkin ada baiknya bagi yang muslim untuk kembali meresapi arti dari potongan surat Al Kaafirun ”untukmu agama mu dan untukku lah agama ku”. Rasanya sudah sangat jelas tanpa harus ditawar lagi, Islam pun mengajarkan tentang toleransi, lalu kenapa ada yang mengatasnamakan agama untuk menindas kelompok lain? Apakah keimanan kita terkikis dengan adanya sebuah bangunan peribadatan agama lain? Mungkin hanya diri kita yang bisa menjawabnya.

Ketika Semangat dan Langkah itu Surut

COME ON LADS! let it go and keep moving on!!!


Pagi ini teringat semua di hari itu, hari dimana kita memiliki satu tekad atas sebuah tujuan.
setelah hari itu kita lewati hari-hari penuh perjuangan, optimisme, canda dan tawa, terselip juga caci maki tapi semua akan baik-baik saja. ada satu obsesi dan mimpi besar yang menjadi alat pemersatu kita meskipun kita dari latar belakang yang berbeda.

ketika kerikil-kerikil kecil menghadang, satu per satu pergi. satu tujuan pun absurb.
semua memiliki orientasi berbeda dan pragmatis. ketika badai datang menerjang semua terombang-ambing pada keadaan curiga dan fitnah. makin banyak pemilik tujuan itu yang pergi ataupun hilang entah kemana.

saya coba bertahan dari keadaan itu, coba mempertahankan semangat yang masih tersisa, mengais setiap tujuan yang tercecer. tapi pada akhirnya, sulit juga bertahan dikondisi seperti ini. Disaat saya berteriak lantang tentang tujuan awal, tetapi pragmatisme itu muncul dan menganggap saya memperjuangkan sebuah hal yang SIA-SIA! karena semua tanpa kemajuan, diam membatu! tidak mungkin hari-hari saya terkuras di hal yang sia-sia.
Tanpa sadar semangat saya mulai menghilang, langkah ini pun semakin berat. rasanya saya ingin menghilang dari semua ini. mungkin tujuan kita benar-benar terlaksana bukan oleh kita. Teman kita, Orang lain, atau bahkan orang yang kita anggap musuh mungkin yang akan merealisasikannya.



Sekarang semua berjalan sendiri-sendiri. tapi tujuan itu hanya menjadi kisah usang!