Kamis pagi itu tak ada bedanya dengan pagi sebelumnya, tetapi yang membedakan adalah saya harus mengeluarkan pakaian untuk dimasukkan ke dalam daypack karena hari itu saya akan berpetualang untuk pertama kalinya dengan teman-teman kampus. Tak terlalu banyak yang saya persiapkan, berbeda jika saya mendaki gunung, tak ubahnya seperti menggendong kulkas. Ringkas dan ramping begitu nampak pada daypack saya. Hehehe....
Pukul 09.26, setelah saling menunggu di halte stasiun UI saya, Fadil, Ibek, Pai, Ajul, Nci, Afra, Dwi, Arie, Ao, dan Diaz segera menuju ke terminal kampung rambutan. Sesampainya disana menunggu troopers lainnya Sita, Udien, Dita, Erdita, dan Sevha, dan Pepito. Jam tangan saya menunjukkan pukul 10.50 saat bus perlahan-lahan meninggalkan terminal Kp. Rambutan menuju terminal pakupatan kota Serang. Sekitar 2 jam bus membelah tol Jakarta-Merak dan sampailah di Pakupatan, disana kami manfaatkan untuk Ishoma. Setelah itu kami bersiap menuju Paniis di Desa Taman Jaya, Ujung Kulon. Kendaraan yang kami tumpangi adalah jenis Elf, Kendaraan yang hampir selalu menemani saya jika berpergian untuk berpetualang. Saling tindih menemani saya menuju Paniis, saling tukar posisi harus dilakukan guna menghilangkan pegal yang teramat akut.
Sekitar 6 jam kendaraan super “edan” harus melewati jalan yang tak kalah "edannya", berbukit-bukit, aspal rusak, hingga jalan berbatu yang menurut penduduk lokal tak pernah diaspal mungkin sejak badak bercula dua berubah menjadi satu cula..haha
Sepanjang perjalanan selalu disuguhi kondisi medan yang berbeda, dari kota, kampung, hutan, sampai pantai. Benar-benar sangat menghibur mata. Tak tahan dengan kondisi jalan yang semakin rusak, saya, fadil dan ajul memutuskan untuk naik di atap mobil, beberapa kali saya harus tiarap diatap guna menghindari batang pohon dan kabel. Salut lah dengan perjuangan sang sopir, Bapak Sakoy yang setiap hari memacu Elfnya melewati jalan nan edan. UK KERAS BUNG! haha..
Kendaraan ini mengingatkan saya waktu pergi ke Ujung Genteng pertengahan tahun, namun bedanya waktu yang ditempuh hanya 4 jam saja. Entah mengapa sepanjang perjalanan menuju Paniis sama seperti saya pergi ke daerah terpencil lainnya, pikiran saya selalu berputar-putar tentang bagaimana mobilitas warga lokal?, siapa yang membangun jalan?, siapa yang pertama kali membuka jalur? Sampai Ada saja orang yang mau tinggal di tempat terpencil seperti ini? Semua pikiran itu saya coba patahkan dengan sudut pandang sebagai penduduk lokal dan bukan sebagai orang kota yang hidupnya serba praktis. Mungkin bagi mereka hidup seperti itu dimana kendaraan sulit, infrastrukstur ala kadarnya adalah hal biasa karena bagi mereka standarnya memang demikian. satu lagi pelajaran dapat saya tarik, jangan menilai secara komparatif sesuatu yang memiliki standard berbeda.
Pukul 19.35 kendaraan elf tiba di penginapan, tepatnya di rumah keluarga Bapak Wahyu. Sambutan keluarganya begitu hangat, belum lagi makanannya. Tanpa basa-basi semua menjadi kalap dengan makanan Bu Wahyu. Selesai dengan urusan perut, rombongan dipecah menjadi dua, kaum Adam di rumah Bapak Wahyu dan Kaum Hawa menginap di rumah yang tidak terlalu jauh jaraknya dari tempat menginap pria-pria. tiba saatnya membersihkan badan, semua harus mengantri untuk mendapatkan jatah mandi.
Malam pun tak terasa semakin larut, disaat para troopers wanita asyik di penginapan, para pria memutuskan untuk ke pantai, belum sampai ke pantai gerombolan anjing berdatangan dan mengonggong dengan kerasnya, mungkin ini nasib memiliki tampang perampok.haha
Aakhirnya diputuskan untuk sekedar berbincang di teras rumah Bapak Wahyu, berbicara NGALOR NGIDUL tak ada juntrungan ditemani longlongan doggie menemani malam itu hingga rasa kantuk menyergap dan diputuskan untuk tidur...
Monday, April 5, 2010
Clara Sumarwati, Fakta atau Bualan?

ini kisah tentang wanita pertama asal Indonesia Clara Sumarwati yang berhasil mencapai puncak gunung tertinggi di dunia Guunung Everest. Cerita ini ditulis oleh Ambar di blognya. Yang menarik Ambar menghubungkan masalah ini dengan Prabowo dan TNI Angkatan Darat. Ini dia ulasannya.
Empat tahun lalu ketika saya mulai tersedot tentang sejarah Everest, sebuah nama terlintas. Clara Sumarwati.
Clara who?
Itu adalah reaksi saya ditengah upaya mencari berita tentang ‘perlombaan’ tim wanita Asia Tenggara untuk menaklukan Everest. Saat itu 2006, tim putri dari Singapura sedang dalam proses kampanye lewat media massa. Target mereka jelas sekali, yakni menjadi tim putri Asteng pertama yang menancapkan bendera di atap dunia.
Tim Putri Indonesia kemudian muncul sebagai tandingan. Dalam suasana hingar bingar dan kompetisi yang ketat dengan negara tetangga, sungguh ini dalam posisi yang tidak nyaman. Tsunami dan gempa di Aceh memakan ratusan ribu jiwa, terutama di kepemimpinan SBY yang seumuran jagung. Indonesia dalam carut marut.
Kaitan politik, bencana alam dan kegiatan adventur ternyata saling berhubungan. Bukankah keputusan mengirim tim putra Indonesia ke Everest di tahun 1997 adalah juga politik dengan alasan nasionalisme? Bahwa seorang Indonesia harus lebih dulu menjejak puncak dunia sebelum negara tetangga, dengan alasan apapun, dengan taruhan nyawa sekalipun.
Disinilah kisah Clara mulai masuk panggung adventur dan politik. Terlahir 6 Juli 1967 sebagai anak ke 6 dari delapan anak Marcus Mariun dan Ana Suwarti, Clara menghabiskan masa kecil di Jogya hingga kuliah di Universitas Atmajaya jurusan Psikologi Pendidikan. Di tahun 1991 ia bergabung dengan tim pendaki Indonesia untuk menaklukan Annapurna IV yang mengantarkan rekannya Aryati menjadi wanita Asia pertama di puncaknya. Pada Januari 1993, Clara bersama tiga perempuan Indonesia menaklukan Aconcagua, salah satu puncak 7summit di Amerika Latin.
Clara bersama tim PPGAD Perkumpulan Pendaki Gunung Angkatan Darat –diduga sebagai sempalan militer untuk menandingi tim militer Kopassus/Wanadri melakukan ekspedisi low profile di tahun 1996. Menurut Gatra, tim ini hanya mampu mencapai ketinggian 7000m di punggungan South Col (gigir atau sadel gunung antara Everest and Lhotse rute pendakian dari Nepal).
Walau gagal, Clara berusaha menggalang dana untuk melakukan upaya kedua menancapkan merah putih pada 17 Agustus 1995 [3] yakni tepat 50 tahun kemerdekaan Indonesia. Clara kemudian mendapat kepastian bahwa upayanya akan dibantu oleh pemerintah yang diwakili Panitia Ulang Tahun Emas Kemerdekaan Republik Indonesia yang saat itu dibawah Sekretariat Negara.
Clara terpaksa mengundurkan ekspedisinya bulan Juli 1996 setelah memperoleh kepastian dana (yang saya sinyalir adalah upaya orang tententu untuk ‘mengganggu’ Prabowo mengirim anak buahnya menjadi orang pertama di puncak dunia ie membuat ia menjadi pahlawan).
Perlu dicatat, Gatra sendiri menurunkan berita tanpa mengaitkan dengan kondisi politik karena begitu sensitivenya situasi era menjelang berakhirnya Orde Baru. (kerusuhan Mei, desas-desus kup oleh Prabowo dan militer, mundurnya Suharto hingga chaos-nya situasi politik di tanah air). Tetapi sinyalemen itu diungkapkan Clara dengan jelas terutama kisah tentang adanya upaya dari pihak Prabowo dan militer untuk membuatnya membatalkan ekspedisi.
Upaya untuk menghentikan Clara dimulai dari ringan hingga berat. Terakhir saya kontak, ia tidak mau menyebutkan secara detail. Tetapi bagi yang akrab dengan suasana represif di akhir 90an tentu bisa memahami. Saya sendiri ketika mendengar versinya hanya bisa bilang WOW!
Butuh setengah jam untuk mencerna. Saya mencoba untuk tidak menuduhnya pembohong ataupun tukang ngarang. Sungguh ceritanya adalah kombinasi antara kulminasi terror dan paranoia, imanjinasi dan suspense. Saya berusaha meyakinkannya bahwa ketakutan dan kekhawatiran itu sudah tidak ada. Sejarah menunjukkan Prabowo tidak menjadi pengganti Suharto. Dan ia terpaksa keluar Indonesia untuk menghindari balas dendam politik.
Pada 27 Agustus 1996 [5]pukul 1600 ditemani empat orang Sherpa (Dhawa, Ghalzen Kecil, dan Kaji,), Clara mencapai puncak Everest . Ia berdoa dengan 50X salam Maria, menyanyikan Indonesia Raya sambil memegang bendera merah putih. Berpose di puncak dengan majalah Time bersampul Presiden Suharto.
Kabar tentang seorang Indonesia berhasil mendahului tim ‘resmi’ menaklukan Everest tentu diterima dengan ketidak percayaan. Sebagian besar pendaki meyakini bahwa Clara hanyalah membual, berimajinasi. Terutama ia tidak bisa memberikan bukti kuat. Salah satu bukti adalah photo dirinya yang berada di puncak Everest. Tentu saja kecemburuan dan faktor sexist berperan disini. Atmosfer adventur Indonesia dalam kompetisi individual yang kuat membuat klaim Clara seperti cerita dongeng. Bukan saja kecemburuan dari pendaki laki-laki tetapi muncul pula nada ketidak percayaan bahkan dari rekan pendaki perempuan.
Clara sendiri setiba di tanah air kemudian menghadap Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia yang saat itu diketuai Wismoyo Arismunandar. Dalam tahun yang sama ia menerima Bintang Nararya yang dikeluarkan oleh Sekneg dengan tandatangan Presiden RI.
Yang membuat ragu apakah Clara berhasil mencapai puncak adalah tidak adanya catatan resmi. Sejak awal tahun 50an ekspedisi pendakian Everest baik sisi Nepal dan Tibet dicatat oleh seorang jurnalis perempuan dari Chicago Amerika bernama Elizabeth Hawley. Meski bukan pendaki, Miss Hawley dikenal dengan catatan kronikel akurat mengenai ekspedisi, baik yang sukses maupun gagal. Berhasil mencapai puncak atau tewas. Miss Hawley ini melakukan wawancara langsung pada pendaki dan Sherpa, melakukan kros cek, bahkan meminta konfirmasi deskripsi tempat dan suasana.
Statistik Miss Hawley kemudian dikompilasi berdasarkan kronologis tahun pendakian dan dipandang sebagai catatan paling akurat dan bisa dipercaya. Ketika era internet medio akhir tahun 90an masih samar dan tidak punya kredibilitas, mountainzone.com adalah satu2nya sumber yang kemudian mengutip data dari Miss Hawley sebelum ditayangkan di internet worldwide. Di tahun 2004, databases kompilasinya kemudian dibuat dalam bentuk CD (Visual Vox Pro) dan buku bersama Richard Salisbury dalam himalayandatabase.com
Menariknya, Miss Hawley tidak menyebut Clara Sumarwati dalam statistik Himalayan Databases. Orang Indonesia yang tercatat adalah Mr. Asmujino mencapai puncak 11.10.1996 melewati rute South E. Ridge dalam nomor urut 58 dan Mr. Misrin sampai puncak 26.4.1997 lewat South E. Ridge dengan nomor urut 68. Walaupun dalam database disebutkan Misirin masuk tim Korea tetapi kemungkinan ini adalah konfirmasi mencapai puncak dikabarkan oleh tim Korea atau proses konfirmasi klaim Misrin dianggap positif oleh Miss Hawley pada tanggal itu lewat kros cek dengan anggota tim Korea.
Namun dalam referensi everesthistory.com Clara Sumarwati adalah pendaki Everest ke 88 dari Indonesia mencapai puncak pada 26 September 1996 melewati rute NC-NE Ridge (North Col-North East Ridge atau gigir Timur Laut). Ini dikuatkan dengan keterangan laporan Gatra bahwa dua buku : Everest karya Walt Unsworth (1999), dan Everest: Expedition to the Ultimate karya Reinhold Messner (1999) mencantumkan nama Clara sebagai pendaki Everest Indonesia pertama.
Kemungkinan tidak tercatatnya Clara karena masalah ijin/climbing permits. Seperti diketahui Everest menjadi komoditi pemerintah Nepal dan China untuk mengeruk keuntungan finansial sebanyak mungkin. Fee untuk mendaki di Everest bisa mencapai $70,000 untuk tim beranggotakan 10 orang. Karena mahal inilah, pendaki banyak yang mencoba di luar musim mendaki (April-Juni) ataupun menggabungkan diri dengan anggota tim lain tanpa keterikatan kebangsaan.
Keraguan tentang keberhasilan Clara ini makin menguat ketika sosoknya menjadi misterius. Ia dikenal tidak ramah pada media ataupun orang yang tidak mempercayai prestasinya. Ia juga menjadi begitu paranoia akan adanya orang-orang yang (masih) berusaha menghentikannya ataupun membungkam mulutnya. Ini juga menjelaskan kenapa keberhasilan tim Kopassus/Wanadri diberitakan besar-besaran ketimbang kesuksesan Clara yang cenderung ‘ditiadakan’.
Dalam korespondensi, saya menangkap ketakutan itu, walaupun saya coba meyakinkannya bahwa kondisi politik tidaklah seperti dekade silam. Agaknya trauma dan paranoia mengambil alih kesadarannya. Luka dalam itu, yang entah apakah kita bisa memakluminya atau tidak telah meninggalkan jejak mendalam. Kekecewaan dan keputusasaannya untuk meyakinkan orang lain nampaknya membawa pada tepi kesadaran.
Seorang teman berkomentar tentang Clara. Ia seperti John Forbes Nash, seorang ahli matematika yang berjuang puluhan tahun menghadapi schizophrenia dalam film Beautiful Mind. Seorang yang menderita penyakit ini dituduh publik sebagai orang gila. Ia bisa saja ngoceh ngga karuan, ataupun hidup dalam dunianya sendiri. Batas antara jenius dan madness terkadang hanya benang tipis. Tetapi bukan berarti seorang penderita adalah pembohong. Saya hanya ingin menegaskan bahwa Clara belum tentu seorang pembual. Sebagai orang berpikiran terbuka, saya menyadari bahwa mungkin ia mencapai puncak, dan mungkin juga tidak. Tapi jikalaupun iya, tidak akan bisa menghapus sejarah bahwa Clara-lah orang Indonesia pertama yang mencapai puncak Everest.
Bagaimanapun Clara adalah seorang pahlawan bagi adventur Indonesia. Ia bisa membuktikan bahwa seorang ‘independen’ adventure bisa melakukan tugas mulia tanpa puluhan dan ratusan anggota tim. Betul, ia seperti seekor elang yang sendirian. Tetapi seekor elang dengan beautiful mind tentulah lebih menakutkan.
Label:
Adventure
Pegadaian Idealisme
Akhir-akhir ini sepertinya kata idealis selalu terngiang di otak saya, entah merasa sok idealis atau saya memang sudah muak melihat acara musik di tv. Rasanya tak perlu saya sebutkan acara musik dari pagi sampai sore yang berkeliaran di tv kita dan “merusak” telinga ini. Kenapa gw bilang merusak? Karena semua seragam!!! Sepertinya memang sudah menjadi tabiat bangsa ini tuk terus mengekor atau menjadi plagiat sejati. Ketika suatu trend musik sedang diminati maka berbondong-bondong ikut dalam trend tersebut. Saat ini yang jadi trend musik adalah Metal (melayu total).
Disini saya tak bermaksud menyalahkan kehadiran band-band tersebut akibat keseragaman musik Indonesia. Tetapi saya lebih melihat bahwa keseragaman ini adalah ulah para major label yang ingin mencari keuntungan sesaat ketika trend musik melayu sedang naik daun (red, bukan hijau daun). Band-band tersebut umumnya berada dibawah major label, suatu hal yang 5-6 tahun lalu suatu kemustahilan ketika musikalitas sangat buruk, tampang tak layak jual (red, gak nyindir siapapun) mencoba “melamar” ke major label. Parahnya, ada satu major label yang saya nilai semua bandnya tak berkualitas. Siapa dia? Coba tebak!
Para major label saat tak ubahnya seperti tempat pegadaian idealisme. Ketika ada band yang ingin memberikan demo yang secara mainstream berlawanan dengan trend meskipun band tersebut berkualitas secara musikalitas maka bersiaplah untuk ditolak. namun, ketika secara genre band tersebut sesuai dengan trend maka akan dikontrak tanpa melihat kualitasnya! Adapun mereka masih akan menerima band-band idealis dengan syarat “menggadaikan” idealisme mereka dan harus tunduk dengan trend!!! Saya tidak anti dengan musik melayu, tetapi alangkah baiknya bila kita hidup dengan budaya kita sendiri, budaya musik Indonesia yang memiliki kekhasan sendiri. Budaya yang digandrungi bahkan oleh mereka ditempat asal budaya musik melayu! Ketika mereka saja tak menyukai budaya mereka sendiri, lalu kenapa kita amat menggilai budaya mereka? Aneh!
Jadi jelaslah bahwa trend seperti ini disebabkan pula oleh para major label yang menurunkan standar band-band yang akan dinaunginya sehingga band-band yang seharusnya tak masuk major label akhirnya dapat masuk dan menikmati uang dengan bermodalkan satu lagu lewat RBT! Meskipun secara pribadi saya juga kurang suka dengan band-band tersebut. Tetapi saya harus objektif karena trend ini bukan sepenuhnya salah mereka.
Whey: Dan biarkan mereka terus datang dan pergi, cekoki manisnya trend selling out band. Hempaskan hadapi dan mentahkan semua, esensi musik kita tak pernah mati!!
Maaf bila menyinggung teman-teman yang menggilai band tersebut!
Disini saya tak bermaksud menyalahkan kehadiran band-band tersebut akibat keseragaman musik Indonesia. Tetapi saya lebih melihat bahwa keseragaman ini adalah ulah para major label yang ingin mencari keuntungan sesaat ketika trend musik melayu sedang naik daun (red, bukan hijau daun). Band-band tersebut umumnya berada dibawah major label, suatu hal yang 5-6 tahun lalu suatu kemustahilan ketika musikalitas sangat buruk, tampang tak layak jual (red, gak nyindir siapapun) mencoba “melamar” ke major label. Parahnya, ada satu major label yang saya nilai semua bandnya tak berkualitas. Siapa dia? Coba tebak!
Para major label saat tak ubahnya seperti tempat pegadaian idealisme. Ketika ada band yang ingin memberikan demo yang secara mainstream berlawanan dengan trend meskipun band tersebut berkualitas secara musikalitas maka bersiaplah untuk ditolak. namun, ketika secara genre band tersebut sesuai dengan trend maka akan dikontrak tanpa melihat kualitasnya! Adapun mereka masih akan menerima band-band idealis dengan syarat “menggadaikan” idealisme mereka dan harus tunduk dengan trend!!! Saya tidak anti dengan musik melayu, tetapi alangkah baiknya bila kita hidup dengan budaya kita sendiri, budaya musik Indonesia yang memiliki kekhasan sendiri. Budaya yang digandrungi bahkan oleh mereka ditempat asal budaya musik melayu! Ketika mereka saja tak menyukai budaya mereka sendiri, lalu kenapa kita amat menggilai budaya mereka? Aneh!
Jadi jelaslah bahwa trend seperti ini disebabkan pula oleh para major label yang menurunkan standar band-band yang akan dinaunginya sehingga band-band yang seharusnya tak masuk major label akhirnya dapat masuk dan menikmati uang dengan bermodalkan satu lagu lewat RBT! Meskipun secara pribadi saya juga kurang suka dengan band-band tersebut. Tetapi saya harus objektif karena trend ini bukan sepenuhnya salah mereka.
Whey: Dan biarkan mereka terus datang dan pergi, cekoki manisnya trend selling out band. Hempaskan hadapi dan mentahkan semua, esensi musik kita tak pernah mati!!
Maaf bila menyinggung teman-teman yang menggilai band tersebut!
Label:
Refleksi
Surat Dari Kaki Merbabu

Tenang adalah hal pertama yang saya rasakan ketika menjejakkan kaki di Desa Kedakan, Magelang. Desa terakhir yang berada di kaki taman nasional Gunung Merbabu. Sekilas tak ada yang beda dengan desa sembalun di kaki Rinjani atau bahkan desa di kaki Taman Nasional Gede Pangrango, Puncak. Udara Sejuk serta masyarakatnya yang mayoritas bekerja di bidang agraris adalah hal yang saya temui di desa-desa dataran tinggi, termasuk di Desa Kedakan. Suasana bersahabat penduduknya mengingatkan saya pada penjaga penangkaran penyu daerah Cibuaya, Ujung genteng.
Waktu masih menunjukkan Pukul 12.05 WIB ketika hujan kembali turun dengan derasnya. Kabut pun ikut turun dengan kencang dari perbukitan sekitar desa menyapu rumah-rumah dengan butiran air. Tetapi bukan suasana dan keramahtamahan penduduk Desa itu yang mengusik rasa ingin tahu saya, ada sebuah bangunan kecil seperti masjid tanpa kubah dan pengeras suara seperti yang sering saya temui yang menyita perhatian saya. Ketika jam tangan teman saya menunjukkan pukul 12.15 wib terdengar adzan dzuhur, saya pun mencari sumber suara adzan tersebut. Awalnya saya berpikir suara itu berasal dari bangunan yang saya anggap masjid tersebut, ternyata suara itu berasal dari sebuah masjid diatas base camp pendakian.
Pendakian pun segera dimulai dengan melakukan observasi peta jalur terlebih dahulu. Pada peta tersebut ternyata bangunan yang saya kira masjid adalah sebuah gereja. Awalnya saya berpikir tak mungkin ada sebuah bangunan peribadatan selain masjid/mushola di desa ini, ternyata dugaan saya salah, Desa Kedakan adalah Desa yang majemuk. Sesaat kemudian saya teringat pada sebuah spanduk berisikan kecaman yang mengatasnamakan warga atas pendirian sebuah gereja, spanduk tersebut terpasang sangat jelas disebuah jalan perbatasan Jakarta-Depok, cukup 5 menit dari rumah saya. Dua hal tersebut menarik untuk saya cermati ditengah hujan yang semakin deras di Desa Kedakan.
Di Sebuah tempat yang kita anggap terbelakang serta terpencil dari “peradaban” kota. Mereka mengajarkan saya arti toleransi tanpa harus menggurui apa definisi dari toleransi dan prinsip-prinsip toleransi. Mereka telah melakukannya lebih dahulu tanpa harus berteriak lantang atas nama HAM atau bahkan sebelum para pelaku liberalisasi agama mencoba menanamkan arti toleransi yang kebablasan. Disini mereka melakukannya tanpa harus bersinggungan, bakar-membakar, atau bahkan intimidasi. Rasanya kita sebagai orang yang tinggal di kota dan pihak pemberi label berpendidikan dan terbelakang harus belajar arti pentingnya toleransi. Mungkin ada baiknya bagi yang muslim untuk kembali meresapi arti dari potongan surat Al Kaafirun ”untukmu agama mu dan untukku lah agama ku”. Rasanya sudah sangat jelas tanpa harus ditawar lagi, Islam pun mengajarkan tentang toleransi, lalu kenapa ada yang mengatasnamakan agama untuk menindas kelompok lain? Apakah keimanan kita terkikis dengan adanya sebuah bangunan peribadatan agama lain? Mungkin hanya diri kita yang bisa menjawabnya.
Label:
Refleksi
Ketika Semangat dan Langkah itu Surut
COME ON LADS! let it go and keep moving on!!!
Pagi ini teringat semua di hari itu, hari dimana kita memiliki satu tekad atas sebuah tujuan.
setelah hari itu kita lewati hari-hari penuh perjuangan, optimisme, canda dan tawa, terselip juga caci maki tapi semua akan baik-baik saja. ada satu obsesi dan mimpi besar yang menjadi alat pemersatu kita meskipun kita dari latar belakang yang berbeda.
ketika kerikil-kerikil kecil menghadang, satu per satu pergi. satu tujuan pun absurb.
semua memiliki orientasi berbeda dan pragmatis. ketika badai datang menerjang semua terombang-ambing pada keadaan curiga dan fitnah. makin banyak pemilik tujuan itu yang pergi ataupun hilang entah kemana.
saya coba bertahan dari keadaan itu, coba mempertahankan semangat yang masih tersisa, mengais setiap tujuan yang tercecer. tapi pada akhirnya, sulit juga bertahan dikondisi seperti ini. Disaat saya berteriak lantang tentang tujuan awal, tetapi pragmatisme itu muncul dan menganggap saya memperjuangkan sebuah hal yang SIA-SIA! karena semua tanpa kemajuan, diam membatu! tidak mungkin hari-hari saya terkuras di hal yang sia-sia.
Tanpa sadar semangat saya mulai menghilang, langkah ini pun semakin berat. rasanya saya ingin menghilang dari semua ini. mungkin tujuan kita benar-benar terlaksana bukan oleh kita. Teman kita, Orang lain, atau bahkan orang yang kita anggap musuh mungkin yang akan merealisasikannya.
Sekarang semua berjalan sendiri-sendiri. tapi tujuan itu hanya menjadi kisah usang!
Pagi ini teringat semua di hari itu, hari dimana kita memiliki satu tekad atas sebuah tujuan.
setelah hari itu kita lewati hari-hari penuh perjuangan, optimisme, canda dan tawa, terselip juga caci maki tapi semua akan baik-baik saja. ada satu obsesi dan mimpi besar yang menjadi alat pemersatu kita meskipun kita dari latar belakang yang berbeda.
ketika kerikil-kerikil kecil menghadang, satu per satu pergi. satu tujuan pun absurb.
semua memiliki orientasi berbeda dan pragmatis. ketika badai datang menerjang semua terombang-ambing pada keadaan curiga dan fitnah. makin banyak pemilik tujuan itu yang pergi ataupun hilang entah kemana.
saya coba bertahan dari keadaan itu, coba mempertahankan semangat yang masih tersisa, mengais setiap tujuan yang tercecer. tapi pada akhirnya, sulit juga bertahan dikondisi seperti ini. Disaat saya berteriak lantang tentang tujuan awal, tetapi pragmatisme itu muncul dan menganggap saya memperjuangkan sebuah hal yang SIA-SIA! karena semua tanpa kemajuan, diam membatu! tidak mungkin hari-hari saya terkuras di hal yang sia-sia.
Tanpa sadar semangat saya mulai menghilang, langkah ini pun semakin berat. rasanya saya ingin menghilang dari semua ini. mungkin tujuan kita benar-benar terlaksana bukan oleh kita. Teman kita, Orang lain, atau bahkan orang yang kita anggap musuh mungkin yang akan merealisasikannya.
Sekarang semua berjalan sendiri-sendiri. tapi tujuan itu hanya menjadi kisah usang!
Label:
Refleksi
Otokritik Diri
Awalnya saya selalu berpikir bisa melakukan apapun yang dingiinkan tanpa bantuan orang lain. Berbuat yang saya hendaki tanpa peduli keberadaan lingkungan, menilai seseorang dengan parameter subjektif ataupun berbicara sebebas-bebasnya lalu berteriak ini hak saya.
Terkadang pemikiran sempit itu membawa pada spektrum hitam dan putih. Mereka akan selalu hitam dan tak akan pernah bisa berbaur dengan putih. Pernahkah terpikir tentang abu-abu? Pelangi? Atau bahkan negara Indonesia? Keanekaragaman membawa kemajemukan nan indah. Tercetus dalam diri jika beda itu absolut dan kesempurnaan itu hakiki. picik ya memang picik! Tapi itu realita sekarang yang ada diantara jiwa-jiwa yang diklaim jiwa muda. Muda atau kekanak-kanakan? Entahlah.
Cukup! Ya Cukup. Cukup sudah border dalam perspektif sempit menghinggapi dinding-dinding jiwa ini. Kita harus hapus Jarak yang sengaja kita ciptakan atau bahkan tanpa sengaja tercipta dengan angkuhnya aku, kamu, dan mereka. Cepat atau lambat waktu akan membuat aku, kamu, dan mereka meratapi masa ini, menginginkannnya kembali tapi sia-sia, mengais-ngais yang tercecer namun tak pernah satu kembali.
lalu sejenak saya tersentak, hidup adalah proses, proses dalam segala hal. tak mungkin berproses tanpa adanya suatu penilaian komparatif secara objektif, sedangkan saya tanpa ada orang lain. Jadi saya amat membutuhkan orang lain dalam segala hal dan sekecil apapun.
rasanya terlalu fana dunia ini bila saya lakukan sendiri, terlalu singkat hidup bila individualis, dan terlalu munafik bila mengacuhkan orang lain. Tak apalah saya kritik habis-habisin diri ini, karena dengan cara ini mungkin saya akan menghargai kamu, mereka, dan kalian.
Aku, Kamu, dan Mereka adalah SAMA dan saya butuh KAMU, MEREKA dan KALIAN.
Terkadang pemikiran sempit itu membawa pada spektrum hitam dan putih. Mereka akan selalu hitam dan tak akan pernah bisa berbaur dengan putih. Pernahkah terpikir tentang abu-abu? Pelangi? Atau bahkan negara Indonesia? Keanekaragaman membawa kemajemukan nan indah. Tercetus dalam diri jika beda itu absolut dan kesempurnaan itu hakiki. picik ya memang picik! Tapi itu realita sekarang yang ada diantara jiwa-jiwa yang diklaim jiwa muda. Muda atau kekanak-kanakan? Entahlah.
Cukup! Ya Cukup. Cukup sudah border dalam perspektif sempit menghinggapi dinding-dinding jiwa ini. Kita harus hapus Jarak yang sengaja kita ciptakan atau bahkan tanpa sengaja tercipta dengan angkuhnya aku, kamu, dan mereka. Cepat atau lambat waktu akan membuat aku, kamu, dan mereka meratapi masa ini, menginginkannnya kembali tapi sia-sia, mengais-ngais yang tercecer namun tak pernah satu kembali.
lalu sejenak saya tersentak, hidup adalah proses, proses dalam segala hal. tak mungkin berproses tanpa adanya suatu penilaian komparatif secara objektif, sedangkan saya tanpa ada orang lain. Jadi saya amat membutuhkan orang lain dalam segala hal dan sekecil apapun.
rasanya terlalu fana dunia ini bila saya lakukan sendiri, terlalu singkat hidup bila individualis, dan terlalu munafik bila mengacuhkan orang lain. Tak apalah saya kritik habis-habisin diri ini, karena dengan cara ini mungkin saya akan menghargai kamu, mereka, dan kalian.
Aku, Kamu, dan Mereka adalah SAMA dan saya butuh KAMU, MEREKA dan KALIAN.
Label:
Refleksi
Mengadili Persepsi
Ketika pemikiran dipasung, ketika jiwa-jiwa itu dimatikan dan ketika otak-otak kita dibuat seragam dan menjadi sama dalam spketrum persepsi. Maka yang terjadi adalah kemunafikan. Kita akan selalu berperan menjadi orang-orang yang dinginkannya, mirip seorang sutradara yang akan mengatur para pemainnya atau bahkan seorang dktator yang akan mengatur segala aspek kehidupan ini!! Kata-katanya bak manusia super yang akan menyihir kita, tingkah lakunya bak nabi ataupun utusan Tuhan didalam suatu agama.
ketika jiwa ini mencoba melawan dan ingin mempertahankan secercah idealisme yang tersisa, maka terjadilah pengadilan persepsi! Mereka kemudian akan mengubah perannya menjadi hakim dalam suatu perkara bernama perbedaan persepsi! Mereka akan menghakimi jiwa-jiwa ini sebagai pemberontak dan tak berhak sedikitpun menyuarakan isi dan jeritan disekitar! Kita dibuat tak berdaya dan terpojok kemudian terkucilkan atas pemikiran yang coba dipertahankan!
Mungkin ini yang disebut para serigala militia dengan bermain Tuhan! Kita akan dklaim sebagai hamba-hamba mereka. Tak berhak bertanya apa, mengapa, kenapa, bagaimana. Mereka seperti mentasbihkan paling sempurna sehingga tak layak terucap dalam bibir kita sebuah kata tanya! Semua jiwa-jiwa ini akan dibuat monotheisme!!hanya percaya pada ucapannya seorang! Lalu siapa yang berhak? Kaumnya! Orang yang akan senang hati menjilat ludahnya sendiri sekaligus membantu mematikan pemikiran kita dan berteriak lantang, “Diam Kau pemberontak!!!”. Mereka dan kaumnya akan selalu menganggap kita adalah kasta terendah ataupun menggapnya dirinya adalah kaum borjuis yang berhak menginjak-injak kaum proletar menurut mereka, seperti yang dilakukan kaum liberal dengan kaki angkuhnya! Ketika kita sudah terpenjarakan dengan pemikiran mereka, maka akan membuat jiwa ini pragmatis dan tak lagi idealis, membuat kita bermain aman ketimbang harus rela di cap pengkhianat atau bahkan pecundang sejati! Tertawa miris kudalam hati melihat realita yang kini terjadi, saat ini terpampang jelas di depan mataku! Tetapi ketika kiita coba melawan, maka kita akan dianggap telah murtad dari ajaran mereka, sebuah ucapan yang membuat semua perjuangan kita serasa sia-sia!
Apakah kita mau selalu ada dibawah bayang-bayang para pemain lakon Tuhan? Tidak! Lebih baik kita terhina sebagai pengkhianat yang terus menyuarakan isi hati dan kebenaran-kebenaran ketimbang jiwa ini harus dibutakan oleh materi yang sama artinya menjual harga diri senilai dengan materi tersebut dan selalu terkungkung dalam ajaran yang mengharamkan perbedaan! Sadar kawan, jiwa ini tak dapat dibeli dengan apapun! Sudah saatnya melawan tirani yang sebenarnya kita buat sendiri! Akhirnya, biarkanlah kami ada dan tetap hidup dengan jiwa-jiwa yang kami miliki dan jangan pernah memaksakkan pemikiran anda! Terpenting, jangan anggap kami pemberontak dikarenakan kita berada dalam sisi pemikiran yang berbeda.
ayo teriakan, INDIVIDU MERDEKA!!
ketika jiwa ini mencoba melawan dan ingin mempertahankan secercah idealisme yang tersisa, maka terjadilah pengadilan persepsi! Mereka kemudian akan mengubah perannya menjadi hakim dalam suatu perkara bernama perbedaan persepsi! Mereka akan menghakimi jiwa-jiwa ini sebagai pemberontak dan tak berhak sedikitpun menyuarakan isi dan jeritan disekitar! Kita dibuat tak berdaya dan terpojok kemudian terkucilkan atas pemikiran yang coba dipertahankan!
Mungkin ini yang disebut para serigala militia dengan bermain Tuhan! Kita akan dklaim sebagai hamba-hamba mereka. Tak berhak bertanya apa, mengapa, kenapa, bagaimana. Mereka seperti mentasbihkan paling sempurna sehingga tak layak terucap dalam bibir kita sebuah kata tanya! Semua jiwa-jiwa ini akan dibuat monotheisme!!hanya percaya pada ucapannya seorang! Lalu siapa yang berhak? Kaumnya! Orang yang akan senang hati menjilat ludahnya sendiri sekaligus membantu mematikan pemikiran kita dan berteriak lantang, “Diam Kau pemberontak!!!”. Mereka dan kaumnya akan selalu menganggap kita adalah kasta terendah ataupun menggapnya dirinya adalah kaum borjuis yang berhak menginjak-injak kaum proletar menurut mereka, seperti yang dilakukan kaum liberal dengan kaki angkuhnya! Ketika kita sudah terpenjarakan dengan pemikiran mereka, maka akan membuat jiwa ini pragmatis dan tak lagi idealis, membuat kita bermain aman ketimbang harus rela di cap pengkhianat atau bahkan pecundang sejati! Tertawa miris kudalam hati melihat realita yang kini terjadi, saat ini terpampang jelas di depan mataku! Tetapi ketika kiita coba melawan, maka kita akan dianggap telah murtad dari ajaran mereka, sebuah ucapan yang membuat semua perjuangan kita serasa sia-sia!
Apakah kita mau selalu ada dibawah bayang-bayang para pemain lakon Tuhan? Tidak! Lebih baik kita terhina sebagai pengkhianat yang terus menyuarakan isi hati dan kebenaran-kebenaran ketimbang jiwa ini harus dibutakan oleh materi yang sama artinya menjual harga diri senilai dengan materi tersebut dan selalu terkungkung dalam ajaran yang mengharamkan perbedaan! Sadar kawan, jiwa ini tak dapat dibeli dengan apapun! Sudah saatnya melawan tirani yang sebenarnya kita buat sendiri! Akhirnya, biarkanlah kami ada dan tetap hidup dengan jiwa-jiwa yang kami miliki dan jangan pernah memaksakkan pemikiran anda! Terpenting, jangan anggap kami pemberontak dikarenakan kita berada dalam sisi pemikiran yang berbeda.
ayo teriakan, INDIVIDU MERDEKA!!
Label:
Refleksi
Subscribe to:
Posts (Atom)