Friday, August 6, 2010

Menapaki tanah tertinggi Jawa, puncak abadi para dewa

Dingin yang teramat menusuk membuat kami tak bisa tidur dengan nyenyak malam itu. Pagi itu desa ranu pane belum mulai beraktivitas, tetapi kami sudah mulai packing perlengkapan mulai pukul 03.00 dini hari. Kami menginap di kediaman Pak Tumari, salah seorang saksi evakuasi Soe Hok Gie 40 tahun yang lalu, namun kediaman Pak Tumari hanya ditinggali sanak keluarganya. Ia sendiri lebih memilih tinggal di Tumpang yang berjarak sekitar 20 km dari Ranu Pane. Desa Ranu Pane merupakan desa terakhir menuju gunung semeru yang dikelilingi perbukitan serta danau ranu regulo dan ranu pane. Sebenarnya ada jalur lain pendakian semeru, yakni melalui Desa glubuk klakah namun sangat berat serta tidak direkomendasikan untuk dilalui. Jalur ini biasa digunakan arek-arek Malang ketika mendaki semeru.


Jalan Potong dan kecelakaan Izul
Pukul 07.00 wib semua anggota tim yang berjumlah 12 orang telah siap untuk mendaki semeru. Setelah lebih dahulu berdoa, satu per satu anggota tim menyusuri jalan aspal hingga gerbang pendakian mengikuti rombongan dari Bandung yang ingin mendaki bersama namun hanya sampai ranu kumbolo. Kebetulan tim dari Bandung membawa seorang guide sehingga kami memutuskan mengikuti beliau melewati jalan potong, kondisi jalur tersebut dipenuhi semak belukar yang tinggi serta tanjakan bercabang. Sesekali kami istirahat mengatur kerja jantung sambil sesekali diselingi canda tawa. Tim dari Bandung terus melesat meninggalkan kami, kami memutuskan untuk tidak mengikuti tim tersebut. Jalan potong tersebut ternyata membelah punggungan hingga diujung jalan menuruni jalan licin. Satu per satu tim berhasil melewati hingga pada giliran terakhir,Izul melewati jalan tersebut dan terjatuh. Kondisi Izul ternyata diluar dugaan kami, kedua kakinya terkilir hingga tak mampu berjalan. Padahal perjalanan baru sekitar 30 menit dari Desa Ranu pane. Setelah berdiskusi diselingi debat maka diputuskan kami harus mengevakuasi Izul kembali ke Desa Ranu Pane. Untuk mempersingkat waktu, maka Saudara Dodi bersedia mengevakuasi Izul kembali, kebetulan Dodi hanya ingin sampai di ranu kumbolo dan tidak berniat ke Mahameru.

Perjalanan dilanjutkan dengan 10 anggota tim menuju Ranu Kumbolo, siang itu udara disepanjang perjalanan cukup lembab hingga membuat perjalanan tidak terlalu terik dan panas. Ketika menjelang pos 3-pos 4 atau kurang lebih 4 jam perjalanan kondisi tim mulai lemah terlebih lagi setelah pos 3 tim disuguhi medan yang terus menanjak hingga amat menguras tenaga. Setelah tertatih membawa berat beban, tim disuguhi pemandangan maha dahsyat, Ranu Kumbolo. Kejadiam itu spontan saja membuat tim kegirangan dan berlarian menuruni bukit menuju ranu Kumbolo. Danau ini terletak diketinggian sekitar 2400 mdpl, tentunya membuat udara di sekitar ranu kumbolo sangat dingin. Tim memutuskan untuk beristirahat untuk memulihkan kondisi badan. Setelah menyantap makanan, sekitar pukul 03.00 tim berangkat menaiki tanjakan cinta yang melegenda itu. Susah payah kami mendaki tanjakan tersebut dan ketika kami berhasil mendakinya, kami kembali disuguhi pemandangan maha dahsyat dari Sang Pencipta. Yakni, hamparan rumput dan bunga yang amat luas. Padang savana ini bernama Oro-oro ombo yang mirip dengan alun-alun surya kencana di Gunung Gede akan tetapi bekali-kali lipat lebih luas dan lebih lebat tumbuhan rumputnya.


Hipotermia
Tim mulai memasuki cemoro kandang, sebuah tempat yang sesuai dengan namanya “Kandangnya cemara” karena banyak sekali cemara yang tumbuh. Sekitar 15 menit dari awal cemoro kandang, tim mulai diguyur hujan. Kondisi tersebut berlangsung lumayan lama hingga tim memasuki arel Jambangan yang berada di bawah kaki Gunung bajangan. Hari mulai gelap ketika tim memasuki arel Jambangan serta hujan yang belum juga reda, hal tersebut membuat kondisi tim semakin memburuk ditambah lagi tak ada yang mengetahui sampai kapan kami harus berjalan sampai pos kalimati. Beberapa anggota tim mulai merasakan dingin yang sangat hebat, namun yang terparah adalah Upi. Tangan dan jarinya mengalami mati rasa yang parah, bahkan ketika tim memutuskan membakar tangannya untuk melancarkan peredaran darahnya ia tak dapat merasakan apapun. Kondisi tersebut membuat panik tim, akhirnya diputuskan tim harus cepat sampai kalimati untuk mendirikan tenda. Syukur Alhamdulillah, tak lama berselang tim tiba di Kalimati dan segera mendirikan tenda.

Berdasarkan jadwal yang telah ditentukan, tim seharusnya melakukan summit attack malam itu juga ketika tiba di kalimati. Akan tetapi kondisi cuaca sangat tidak memungkinkan dikarenakan hujan yang tak kunjung reda dan beberapa hari sebelumnya terjadi badai menuju mahameru. Maka diputuskan untuk menunda sehari menuju puncak. Selama di kalimati tim hanya berdiam di pos yang mirip seperti rumah karena hingga esok siang hujan juga belum reda.


Terlihatnya Mahameru dan start ke arcopodo
Berjam-jam tim menunggu cuacau bagus, hingga hari rabu sekitar pukul 14.00 wib tiba-tiba cuaca mulai bersahabat dan mahameru lambat laun terlihat dengan gagahnya berdiri. Kejadian tersebut kontan saja membuat semangat tim menjadi berkobar kembali. Maka diputuskan untuk melakukan summit attack nanti malam. Untuk mempersingkat waktu dan menghemat tenaga, maka tim memutuskan untuk mendirikan base camp di arcopodo dengan meninggalkan beberapa barang bawaan di kalimati. Ketika memasuki hutan arcopodo tim kembali diguyur hujan, tentu hal ini membuat kondisi kami panik. Tim merasa salah perhitungan dengan meninggalkan barang-barang penting di kalimati, alhasil tim berjuang melawan rasa dingin di arcopodo dengan tenda tanpa matras, makanan hanya cukup untuk 5 orang, dan beberapa minuman hangat. Selain itu beberapa anggota tim tidak membawa baju hangat cadangan ke arcopodo. Kondisi tersebut semakin memperparah kondisi tim, Lebong sampai harus kami telanjangi karena mengalami hipotermia yang cukup parah. Setelah menanan dingin di dalam tenda untuk beberapa jam sambil menunggu cuacau bagus untuk melakukan summit attack, tiba-tiba cuaca cerah kembali dengan terlihat hamparan bintang dan cahaya bulan yang indah sekali.

Arcopodo merupakan batas vegetasi terakhir yang berketinggian sekitar 3600 mdpl, luas tempat ini tidak lebih dari 5x6 meter. Di tempat ini pula Norman Edwin dan herman lantang menemukan arca kuno sehingga tempat tersebut dinamai arcopodo. Namun kami tak dapat menjumpai arca kuno tersebut.


Lautan Pasir Mahameru
Kamis dinihari sekitar pukul 03.00 wib kami mulai bergegas meninggalkan arcopodo menuju mahameru yang berketinggian 3676 mdpl. Awal perjalanan kami disuguhi oleh tugu peringatan orang-orang yang meninggal di Semeru, tugu peringatan tersebut tentu membuat nyali kami semakin ciut. Disini kami benar-benar diuji secara mental dan fisik, terlebih saat menapaki lautan pasir yang memiliki kemiringan lebih dari 45 derajat. Langkah kami semakin berat dan nafas semakin sesak, 3 langkah naik 1 langkah turun. Kami sedikit terbantu oleh adanya hujan hari sebelumnya sehingga kondisi pasir ridak terlalu licin.

Setelah hamper 3-4 Jam menapaki jalan berpasir kami tiba satu per satu di titik 3676 mdpl. Semua rasa kesal, suka, capek, haru, dan takjub bergelora secara bersamaan. Disini kami melihat tugu peringatan Soe Hok Gie, salah satu tokoh yang menginspirasi kami untuk mendaki semeru. Tak lebih dari 30 menit kami menikmati momen terindah dalam hidup, kami memutuskan untuk kembali turun untuk menghindari gar beracun dari kawah semeru. Semua perjalanan ini kami jadikan sebagai bahan introspeksi diri, tak terbersit sedikit pun sebagai ajang eksistensi diri kami. Semua ini perjalanan hati menapaki tanah tertinggi Jawa, puncak abadi para Dewa.! TERIMA KASIH MAHAMERU, vk wanasuta

No comments:

Post a Comment

indonesian supporters