Tuesday, January 18, 2011

Mendaki Cartenz Demi Ayah. (repost)

Dari Majalah Angkasa.
Harian Kompas tanggal 18 April 1981 memberitakan: “Pendakian Salju Khatulistiwa. Tim Mapala UI menemukan es Jayawijaya menyusut 200 m. Sisa pesawat DC-3 Belanda ditemukan.” Mengenai sisa pesawat selanjutnya diberitakan: “Reruntuhan DC-3.Tim pendakian ekspedisi telah melacak rute selatan Pegunungan Carstensz dan berhasil menemukan reruntuhan pesawat terbang DC-3 (maksudnya C-47) Dakota milik Belanda. Tim ini juga berhasil mendaki lagi puncak tertinggi Carstensz Pyramide (4.884 m), dengan menyertakan dua pendaki wanita, Karina Arifin dan Ita Budi.

Hampir 30 tahun sesudah ayahnya meninggal, barulah Harry Rudolph dapat berpamitan dengan sebenarnya. Hanya tidak mudah, dia harus mendaki Pegunungan Carstensz setinggi 4.000 meter di Papua demi ayah yang dicintainya.

Sepuluh hari lamanya, terguyur hujan dan terbenam dalam lumpur hingga lutut, aku bersusah-payah menembus hutan belantara tropis di Niugini. Tujuan akhirku masih tampak jauh dan sulit dicapai. Persediaan makananku sudah berkurang secara memprihatinkan. Akan tetapi, setiap kali aku pertimbangkan untuk membatalkan ekspedisi ini, setiap kali pula aku teringat wajah ayahku, Frans Rudolph, yang seolah-olah memberikan kekuatan baru.

Sekonyong-konyong, 15 orang laki-laki yang telanjang menghalangi jalanku. Mereka adalah orang-orang Papua, yang memakai bulu-bulu burung beraneka warna di rambutnya yang keriting dan bersenjatakan panah serta busur di samping parang yang tampak menakutkan. Aku merasa khawatir dan menyadari, boleh jadi, ini berarti akhir dari petualangan. Aku nekat.

Bagi orang-orang Papua yang gagah berani, mungkin memergoki seorang pengembara di dalam hutan, mengagetkan mereka juga. Perjuangan berhari-hari telah menyebabkan penderitaan yang tidak ringan. Badanku penuh dengan luka-luka berdarah yang ditimbulkan oleh batu karang yang tajam dan dahan pohon. Kaki dan mata sudah bengkak karena gigitan nyamuk dan lintah yang haus darah, serta sengatan yang menyakitkan dari tawon dan kalajengking.

Karena kehabisan tenaga, aku duduk di atas sebuah batu gilang sambil meletakkan kedua telapak tangan di kudukku sebagai tanda bahwa aku tidak bermaksud jahat. Begitulah keadaanku sambil melihat ketakutan. Aku teringat ayah yang memberi dorongan untuk melakukan perjalanan seorang diri, juga memberi kekuatan untuk bertahan menghadapi segala macam ujian.

Pada tanggal 28 Juni 1962, Negeri Belanda masih terlibat konflik bersenjata melawan Indonesia sehubungan dengan klaim terhadap Irian Barat. Pada pagi hari itu, ayahku, seorang flight engineer AU Belanda dan empat orang kru lainnya serta tiga orang penumpang sebuah pesawat C-47 Dakota dengan nomor registrasi X-11, lepas landas dari Merauke. Untuk mencapai tujuannya, Biak, pesawat militer itu harus melewati Pegunungan Carstensz setinggi 5.000 meter. Alam yang benar-benar tidak bersahabat.

Delapan tahun kemudian, beberapa foto udara memperlihatkan, bagaimana di tengah perjalanannya, pesawat itu menabrak dinding gunung dan hancur-lebur. Bayangan bahwa jasad ayahku terlantar di suatu tempat di dataran tinggi gunung karang, bagi kami sekeluarga menimbulkan penderitaan batin yang nyaris tak tertahankan.

Aku baru berumur 12 tahun ketika melihat ayah terakhir kali. Sepanjang ingatanku, dia seorang militer yang tegar, percaya diri dan gagah berani, yang sangat memperhatikan dan menyayangi istri serta empat anaknya. Ia menyediakan waktu sebanyak mungkin dengan keluarganya. Ia suka membawa anak-anaknya jalan-jalan di hutan dan mengajak kami berpartisipasi dalam hobinya yang paling berat, yaitu mengotak-atik mobil. Ia memiliki mobil Peugeot tahun 1947. Kami sering berjam-jam mengotak-atiknya.

Selama hampir 30 tahun sejak dinyatakan hilang pada usia 39 tahun, kerinduan kami sekeluarga kepada ayah bertambah kuat, di samping perasaan kecewa atas perlakuan terhadapnya dan anggota kru lainnya.

Dalam tahun 1974, arsip tentang X-11 ditutup karena, menurut para pejabat, adalah mustahil untuk mencapai reruntuhan pesawat dan mengevakuasi jenazah-jenazahnya. Pada waktu itu, mulai timbul niatku untuk mencari sendiri. Setelah begitu lama, begitulah pikiranku, ayahku harus mendapat tempat peristirahatan terakhir yang pantas. Untuk membiayai perjalanannya, aku dan anggota keluarga lainnya mengumpulkan sekitar 50.000 gulden dari kocek sendiri.

“Romo Pastur Jos,” aku bertanya di kantornya di kota Leiden, “Orang Papua itu sebetulnya bagaimana?” Muka misionaris mengguratkan senyuman. “Mereka adalah orang-orang yang ramah-tamah, suka membantu dan suka menerima tamu,” begitulah jawabnya.

Romo Pastur Jos Donkers lama hidup di antara orang-orang Papua di hutan belantara Irian Jaya, yang hingga tahun 1962 bernama Niugini Belanda, yang gelap. Akan tetapi, seluruh daerah sulit dilalui. Hujan yang terus-menerus mengguyur tanah rawa, ular, lintah, dan serangga lainnya adalah ancaman yang harus diwaspadai. Anda tidak bisa menemukan apapun yang dapat dimakan. Adalah niat yang gila untuk pergi ke sana sendirian.

Aku mengunjungi Tropen Museum di Amsterdam untuk mempelajari peta-peta Niugini. Bahkan di atas kertas, perjalanannya tampak mengesankan. Sebagai persiapan, aku latihan intensif selama dua minggu di Pulau Jawa. Aku mendaki gunung berapi sampai tidak kurang 25 kali, tidur di udara terbuka, dan melakukan percobaan untuk mengetahui berapa hari dapat bertahan tanpa makan.

Setelah itu, aku menentukan susunan bagasi di atas hamparan plastik, sebuah kantong untuk tidur, beberapa potong pakaian, sebilah parang, sebuah kompas, beberapa helai peta, dua buah velples, sebuah payung dan sebuah video kamera. Persediaan makananku terdiri dari biskuit kering, buah berkulit keras, satu blek bubuk glukosa dan beberapa blik ransum darurat.

Begitulah. Pada 25 Oktober 1989, aku mulai ekspedisi ke Timika, suatu kota kecil di pantai selatan Irian Jaya. Dengan bantuan seorang misionaris yang berdiam di sana, aku dipertemukan dengan seorang Papua yang pernah menjadi anggota suku yang berdiam di pegunungan yang tinggi. Ia menggambarkan rute menuju ke desanya yang dulu secara garis besar. Perjalanannya akan memakan waktu lebih kurang empat hari, berdasar taksirannya. Optimismenya ternyata jauh berbeda dengan kenyataan. Perjalananku memakan waktu jauh lebih lama dan penuh kejadian-kejadian yang menakutkan.

Hujan deras mengguyur pohon-pohon lebat yang tingginya mencapai 50 meter. Untunglah masih terdapat celah terbuka melalui mana dapat kubedakan siang dan malam. Satu-satunya alat yang membantu dan menjadi tumpuan harapan di dalam medan yang sangat tidak bersahabat, yaitu kompasku, seolah-olah menentangku dengan selalu menunjukkan arah ke pohon-pohon tumbang atau rawa-rawa yang dalam.

Kerumunan tawon hitam yang ditakuti mengelilingiku. Dari waktu ke waktu, tawon-tawon itu membuka serangan secara massal. Pakaianku nyaris tidak mampu memberi perlindungan. Tawon-tawon itu dapat menembus hampir semua bagian dari tubuhku untuk sekadar memberi sengatan tajam yang dapat menimbulkan infeksi yang parah.

Di belakang kawanan tawon menyusul pasukan lintah, mahluk-mahluk seperti monster sepanjang hampir 3 cm, yang menggigit kulitku dengan keras dan bahkan dapat masuk lewat lubang-lubang tali sepatuku dan melihat kaki-kakiku berdarah. Ular-ular piton sepanjang hampir tujuh meter disana-sini tampak bermalas-malasan pada sore hari. Ular-ular yang tanpa upaya menyambar dan melilit babi hutan yang lewat, dapat saja sekonyong-konyong berbuat yang sama terhadap pengembara hutan tanpa pertahanan diri seperti aku.

Tinggi di atas kepalaku, burung-burung cendrawasih mengantarkan perjalananku yang berat dengan kicauan-kicauan yang ramai. Pada malam hari, suara mereka yang gaduh ditingkahi oleh menggerisiknya ular, laba-laba, dan kalajengking, yang mengelilingi diriku bak musuh yang tak kasat mata. Aku berusaha untuk tidur sambil mengacuhkan luka-luka dan kaki yang bengkak.

Hutan belantara merupakan musuh tanpa ampun. Perjalanan empat hari tamsiran orang di Timika, bergema dibenakku ketika kuinjak hari kesepuluh.

Pada hari yang sama, hampir saja sebuah Lockheed Neptune milik AL Belanda ditembak jatuh oleh dua Hawker Hunter AU Belanda

Sebenarnya, dipergokinya diriku oleh 15 orang penduduk bersenjata yang di luar dugaan muncul di depanku, lebih merupakan penyelamatan daripada ancaman. Orang-orang itu ramah-tamah, suka membantu, dan suka menerima tamu. Gambaran yang diberikan Romo Pastur Jos tentang orang Papua kuingat kembali, ketika di depanku orang-orang itu terlibat diskusi yang ramai. Dengan sisa kekuatan yang masih kumiliki, kedua telapak tanganku tetap kuletakkan di kudukku sebagai tanda menyerah. Akhirnya, seorang yang lebih tua mendekat secara hati-hati untuk memeriksa barang bawaanku.

Penasihatku seorang Papua di Timika, telah menitipkan sepucuk surat yang sederhana bagi orang yang dituakan di desa. “Orang baik”, begitulah kira-kira isi surat tersebut karena salah seorang penduduk bersenjata yang lebih tua tampak tersenyum dengan ramah. Yang lainnya mengubah arah acungan senjata dari diriku.

Salah seorang penduduk menguasai sedikit bahasa Melayu dan menjadi juru bahasa. Kuceritakan bahwa aku sedang mencari jenazah ayahku yang telah jatuh dengan pesawat di pegunungan Carstensz. Ia meneruskannya kepada pimpinannya, dan kembali kepadaku sambil berkata: “Pemimpin kami bilang bahwa kedatangan Anda disambut baik di desa ini dan bahwa Anda boleh menginap di sini.”

Orang-orang yang suka menerima tamu. Romo Pastur Jos benar. Jarang saya mendapat teman-teman begitu cepat seperti di desa ini. Orang-orang Papua memberikan segala macam perhatian. Dari dalam gubuk-gubuk yang mirip cendawan raksasa dan tersebar di bukit-bukit, mereka memberi senyum penuh persahabatan, setelah pemimpinnya memberitahukan bahwa aku orang baik.

Aku mengalami kejutan ketika foto reruntuhan X-11 yang kuperlihatkan untuk menjelaskan tujuan ekspedisi yang tidak biasa ini, membangkitkan ingatan beberapa penduduk. Pemimpin desa menunjuk ke arah pegunungan yang tampak menjulang ke langit di kejauhan.

Dua hari lamanya aku menjadi tamu orang-orang Papua yang riang gembira. Kekuatanku sudah pulih kembali untuk meneruskan perjalanan. Beberapa penduduk yang ramah-tamah bahkan mengiringi diriku selama beberapa hari.

Perlahan-lahan hutan belantara diganti oleh batu-batu karang yang tajam. Pemandangan di sekelilingku didominasi oleh arakan awan tipis dan panjang yang lewat di atasku dan ditiup oleh angin kencang dingin seperti es. Aku tidak dapat mengandalkan kompas lagi karena adanya endapan lapisan-lapisan logam di pegunungan itu. Aku terpaksa berlindung di bawah batu-batu yang menjorok selama berjam-jam sambil menunggu terangnya kembali penglihatan.

Tujuan akhir dari perjalananku tercapai 16 hari setelah berangkat dari Timika. Tampaknya seperti pemandangan di bulan yang menyeramkan, dikelilingi oleh dinding-dinding gunung raksasa yang menjulang tinggi dan menyeramkan. Di salah satu sisi pada ketinggian 4.100 meter tergeletak ekor Dakota yang berwarna kelabu dan dihiasi tanda kebangsaan AU Kerajaan Belanda merah-putih-biru yang menyala, diapit oleh nomor registrasi X-11. Itulah adegan yang selama bertahun-tahun menghantuiku.

Aku berkemah selama dua hari di antara horor sisa-sisa sedih X-11 yang hancur lebur. Di areal yang luas, kutemukan puing-puing terdiri dari sobekan aluminium yang dulunya merupakan badan pesawat, motor-motor pesawat yang hancur dengan baling-baling yang bengkok, sebuah sepatu, sebuah boneka, dan beberapa buah kaos kaki. Sama sekali tidak ada jasad para kru dan penumpang yang semula ingin kuberikan penghormatan terakhir di dalam kesunyian di pegunungan yang dahsyat ini. Apa yang telah terjadi dengan jasad mereka?

Aku dengar dari para pekerja tambang tembaga, tidak jauh dari reruntuhan pesawat, sekelompok mahasiswa Indonesia tahun 1981 telah mendahuluiku. Mungkin mereka dapat menjawab pertanyaanku.

Melalui kawan-kawan Indonesia di Bandung, aku bertemu dengan tiga orang. Mereka menceritakan bahwa proyek pendakian gunung universitasnya menugaskan mereka untuk mendaki pegunungan Carstensz pada 1981, ketika secara kebetulan mereka menemukan reruntuhan pesawat. “Tabrakannya begitu hebat,” kata salah seorang mahasiswa sambil menggigil sehingga reruntuhannya benar-benar tersebar di mana-mana.

Mereka berkemah selama kurang lebih sebulan dan setiap hari melakukan pencarian di sekitarnya. “Kami menemukan sepucuk Uzi, kereta bayi, beberapa potong pakaian dan sebuah buku catatan,” kata si mahasiswa. Buku catatan yang mereka temukan disimpan di universitas, ternyata milik ayahku.

Para mahasiswa telah mengumpulkan jasad-jasadnya dengan seksama, dimasukan ke dalam sebuah peti dan dikebumikan dengan khidmat di bawah tumpukkan batu. Aku mendapat sebuah foto dari kuburan itu. Setelah hampir 30 tahun, akhirnya aku mengetahui nasib yang dialami mendiang ayahku.

Dalam bulan Januari 1991, 14 bulan sesudah perjalananku yang penuh bahaya, AU Kerajaan Belanda dibawah tekanan untuk melakukan sesuatu mengenai X-11. Pihaknya mengizinkan ekspedisi yang terdiri dari lima orang untuk mengevakuasi jasad-jasadnya.

Aku mendapat izin untuk ikut serta. Kami diangkut dengan helikopter ke lokasi. Setelah mendirikan perkemahan, kami melakukan pemeriksaan yang seksama. Di bawah tumpukan batu seperti yang diperlihatkan oleh foto para mahasiswa, kami memang menemukan peti berisi jasad-jasad para kru dan penumpang. Bagiku merupakan saat yang sangat mengharukan dan memuaskan. Tugasku telah terlaksana. Ayah akhirnya akan pulang.

Tanggal 19 Februari, jasad-jasad para korban diangkut ke negeri Belanda. Tanggal 22 Maret dimakamkan dengan penghormatan militer di Taman Kehormatan di Loenen. Tinggi di pegunungan Carstensz, kini tinggal sejumlah reruntuhan dan prasasti yang menyebutkan nama para korban. Prasasti dibuat oleh anggota-anggota ekspedisi, yang mengenang bencana 29 tahun sebelumnya.

Harian Kompas tanggal 18 April 1981 memberitakan: “Pendakian Salju Khatulistiwa. Tim Mapala UI menemukan es Jayawijaya menyusut 200 m. Sisa pesawat DC-3 Belanda ditemukan.” Mengenai sisa pesawat selanjutnya diberitakan: “Reruntuhan DC-3.Tim pendakian ekspedisi telah melacak rute selatan Pegunungan Carstensz dan berhasil menemukan reruntuhan pesawat terbang DC-3 (maksudnya C-47-red) Dakota milik Belanda. Tim ini juga berhasil mendaki lagi puncak tertinggi Carstensz Pyramide (4.884 m), dengan menyertakan dua pendaki wanita, Karina Arifin dan Ita Budi.

Kelly dari TVRI Jakarta dibantu Arianto, berhasil merekam peristiwa penelitian, pendakian, dan penemuan reruntuhan pesawat dengan kamera 16 mm. Diharapkan hasil rekaman nanti menambah keterangan tentang hasil yang telah diperoleh Mapala UI.

Dari survei rute selama dua hari, akhirnya tim melalui rute selatan berhasil mendapati rute sebenarnya ke arah reruntuhan pesawat. “Waktu survei dua hari, pendakian yang benar hanya empat jam. Badan pesawat mulai pintu tengah sampai ekor boleh dikata utuh, lainnya berantakan,” kata Arianto. Diterangkan juga, pesawat menabrak dinding padas, lalu pecah, dan sisa badan pesawat terjerembab di atas teras batu ditutupi lumut.

Berhasil ditemukan beberapa tulang pinggul, tangan, serta sisa tempurung kepala manusia. Selain jaket penyelamat, gear box, dynamo wiper, helio-gram, mirror, segulung film positif 8 mm, dan beberapa temuan lainnya.

“Pesawatnya berwarna hijau loreng, masih kelihatan gambar bendera Belanda. Memang Atase Militer Kedubes Belanda, Brigjen J. Linzell, juga mengatakan hal yang sama. Mereka pernah memotret reruntuhan itu, kami pun banyak mendapat informasi darinya,” ujar Arianto lagi.

Harian yang sama dalam edisi 27 April 1981 menurunkan tulisan yang menceritakan bahwa reruntuhan pesawat C-47 Dakota ditemukan pertama kali oleh Norman Edwin pada tanggal 3 April 1981, pukul 10:30 WIT. “Setengah badan pesawat itu masih utuh, rupanya menabrak dinding selatan Carstensz lalu ambruk di teras,” tutur Kelly Saputro, juru kamera TVRI Jakarta yang mengikuti ekspedisi Mapala UI. “Bagian depannya mungkin hancur dan terlontar ke tempat lain.”

Pesawat Dakota itu milik Belanda, mendapat kecelakaan setelah melanggar dinding gunung tinggi saat terbang dari Merauke ke Biak pada masa konfrontasi Indonesia-Belanda tahun 1963. “Memang penemuan ini yang pertama kali, sedangkan pesawat udara yang ditemukan beberapa tim pendaki sebelumnya milik Amerika,” kata Kelly sambil menerangkan lagi, “Tahun 1944 ada pesawat Dakota kargo milik AU AS jatuh di komplek pegunungan Jayawijaya. Tak lama kemudian, Komisi Korban Perang AS sempat mendatangi dan membawa beberapa sisa tubuh korban untuk dimakamkan di negaranya.

Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1314996


Yap, semua punya tujuan masing-masing ketika mendaki gunung. Apapun itu bulatkan tekad dan tujuan, siapkan mental dan kita siap menggapai sang puncak.
*ah...saya benar-benar ingin mendaki saat ini..

No comments:

Post a Comment

indonesian supporters