Tuesday, May 25, 2010

Alay versus be yourself ; fenomena "memarjinalkan" orang lain.

Apa yang ada dipikiran anda ketika mendengar kata ALAY? mungkin akan terlintas dipikiran kita adalah norak, kampungan atau kata-kata lain yanng menggambarkan keanehan mereka. Rasanya sudah banyak yang menulis tetang ciri-ciri ALAY, dari selera berpakaian, musik, hingga gaya mengetik sms. seperti yang tertuang dalam lirik lagu superglad,

oto dengan angle dari atas
mulut sedikit manyun
tanpa harus tersenyum
maaf dibilang ko’
jadi’in kita CAPCUZ
apayu,gibi,hum
kuku,,narcizna,,gingapdi,,FACEBOOKna,,
manggil ga di ONLINE..
cHayaNk dach muncul~~
…ae lupP yuU…
gw bingung jadi duduk
henggezna,,oyukeeuna,,oyuluthuna,,
perezna,,oyucantiekna,,oyugepona,,

Tulisan ini tak bermaksud mendeskreditkan orang-orang yang dikategorikan ALAY seperti yang tertulis di situs-situs pertemanan tersebut, tetapi ingin lebih mengurai fenomena ini.


Fenomena ALAY sebenarnya bukanlah fenomena baru, tetapi merupakan metamorfosa dari fenomena sejenis yang tumbuh beberapa dekade sebelumnya. saya masih ingat ketika masih di sekolah dasar, kata-kata "gaul" yang merupakan plesetan ataupun pemenggalan kata tumbuh berkembang. JIka melihat jauh kebelakang era Warkop DKI juga marak pemakaian kata-kata "aneh" yang sering diucapkan lewat media tv dan radio.
Memasuki era 2000an, ketika alat telekomunikasi berupa HP bukan merupakan barang mewah dan berubah menjadi barang kebutuhan, maka saat itu budaya mengetik sms dengan gaya tak beraturan berkembang. Handphone saya anggap media yang sangat berperan dalam budaya ALAY.

Disini saya ingin mengajak anda untuk melihat perspektif lain akan budaya ini, budaya lama yang bermetamorfosa dengan bungkusan baru. tentu kita semua tahu konsep be your self, jadilah diri sendiri. saya ingin anda melihat fenomena ALAY dengan mengaitkannya dengan konsep BY. tentu kita sering berteriak lantang, jadilah diri sendiri dan sering menghakimi seseorang dengan kata "marjinal" ALAY, akan tetapi yang perlu kita cermati adalah jika seseorang yang kita anggap ALAY tersebut memang merasa itu jati diri mereka, apakah masih pantas kita menyebut mereka dengan ALAY??! Saya rasa tak pantas, ketika mereka merasa nyaman dan memang itu jati diri mereka jadi hormati lah mereka dengan segala polanya.


Mungkin, banyak yang beranggapan budaya ALAY adalah budaya mengekor, merembet dari satu orang ke orang lain. Jika demikian adanya konsep BY tak dapat diaplikasikan disini, akan tetapi masih pantaskah kita terus menghakimi mereka? saya rasa tidak, kenapa? karena budaya ini adalah budaya yang telah ada beberapa dekade sebelum kita terlahir, bedanya hanya muncul dengan pola yang berbeda.


Satu hal lagi yang membuat saya benci dengan fenomena ini adalah munculnya orang-orang yang merasa lebih baik dari mereka yang dianggap ALAY. kata ALAY tak ubahnya kata alat untuk "memarjinalkan" orang lain. kata yang sama menurut saya seperti TOLOL, GOBLOK DLL.
Damned! kembali saya lihat ulah sombong manusia yang selalu berperan menjadi lakon hakim dalam sandiwara bernama kehidupan, hakim dalam segala hal yang berhak menilai orang lain lebih rendah
Sudahlah berhenti menghakimi orang lain, biarkan mereka merasa nyaman denan semua yang kita anggap ALAY, hadapi dengan tenang dan tak perlu emosi.

JADILAH DIRI SENDIRI APAPUN ITU!!

No comments:

Post a Comment

indonesian supporters