Monday, April 5, 2010

bad news is good news


Judul itu sepertinya telah mewakili apa yang saya rasakan akhir-akhir ini. Sebuah kondisi dimana berita bombastis serta fantastis selalu memiliki daya jual tinggi di mata media tanpa harus memikirkan kebenaran atau efek dari pemberitaan tersebut. Kata media berasal dari bahasa latin Medius yang secara harafiah berarti tengah, perantara, atau pengantar. Jadi media pada dasarnya bertugas memberitakan apapun kejadian yang terjadi ditengah masyarakat.

Oleh sebab itu, saya pun menyadari bahwa media tak selamanya memberitakan hal-hal yang baik, ada kalanya memberitakan kebobrokan suatu entitas, termasuk pemberitaan mengenai entitas suporter belakangan ini. Tak ada yang salah menurut saya dengan prinsip tersebut, asalkan media dalam mewartakan berita selalu dalam koridor objektif dan berimbang, karena pemberitaan apapun isinya dapat digunakan sebagai bahan evaluasi entitas tersebut.

Permasalahan timbul ketika media hanya melihat sisi jual dari suatu berita tanpa peduli kebenaran dari berita tersebut. Hendaknya dalam melakukan pemberitan sebuah media melakukan klarifikasi dan validasi sumber berita, bukan sekedar bombastis yang diharapkan dapat dijual semata. Berita mengenai kerusuhan sepakbola di Jakarta hampir sehari penuh mewarnai layar kaca, anehnya saya menemui berita dengan dua visualisasi yang sama tetapi dengan narasi yang berbeda. Media seharusnya menjadi simbiosis mutualisme bagi perkembangan sepakbola lokal dan bukan menjadi pihak yang menambah buruk stigma masyarakat umum terhadap sepakbola dalam negeri. Ketika memang ada berita positif maka beritakanlah tanpa narasi yang “under estimate” dan ketika ada berita negatif, maka saya pun ikhlas diberitakan asal berimbang dan benar. Media selalu berucap tak ada asap jika tak ada api, mengapa disaat mereka memberitakan keburukan sepakbola lokal tidak mencoba mencari penyebab suatu permasalahan timbul? Ataupun sekedar mencari fakta pembanding lain di lapangan? Mungkin mereka tak peduli dengan asal “api” tersebut, karena hanya memperdulikan si “asap” yang menjual. Jika demikian memang sudah menjadi tabiat kebanyakan dari kita, konsisten dengan inkonsistensinya. Entahlah.

Ya, prinsip hanyalah prinsip. Semua kembali pada implementasi di lapangan dan pragmatisme media. Konsep-konsep media objektif dan berimbang hanya menjadi tagline semata dan tak berguna karena dikalahkan dengan sebuah hal, menjual! Kemudian pihak supporterlah yang selalu menjadi sasaran tembak semua pihak yang mengaku cinta dengan sepakbola lokal, dengan demikian supporter menjadi pihak yang paling pantas disalahkan atas kebobrokan sepakbola negeri ini, semakin buruklah citra supporter negeri ini. Sepertinya media harus merubah spektrumnya, dari menjual-tidak menjual menjadi benar-salah dengan tetap berpegang teguh pada objektifitas serta kebenaran berita yang dapat dipertanggungjawabkan. Saya pun tak mau mencontoh hooligans atau ultras dengan menganggap media itu musuh supporter, karena saya berasumsi kemajuan sepakbola lokal haruslah didukung oleh semua pihak, termasuk media. Akan tetapi jika faktanya media selalu tidak objektif dalam melakukan pemberitaan, mungkin kita bisa mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Green street elite, musuh supporter adalah media dan polisi!

No comments:

Post a Comment

indonesian supporters