Monday, April 5, 2010

Surat Dari Kaki Merbabu


Tenang adalah hal pertama yang saya rasakan ketika menjejakkan kaki di Desa Kedakan, Magelang. Desa terakhir yang berada di kaki taman nasional Gunung Merbabu. Sekilas tak ada yang beda dengan desa sembalun di kaki Rinjani atau bahkan desa di kaki Taman Nasional Gede Pangrango, Puncak. Udara Sejuk serta masyarakatnya yang mayoritas bekerja di bidang agraris adalah hal yang saya temui di desa-desa dataran tinggi, termasuk di Desa Kedakan. Suasana bersahabat penduduknya mengingatkan saya pada penjaga penangkaran penyu daerah Cibuaya, Ujung genteng.

Waktu masih menunjukkan Pukul 12.05 WIB ketika hujan kembali turun dengan derasnya. Kabut pun ikut turun dengan kencang dari perbukitan sekitar desa menyapu rumah-rumah dengan butiran air. Tetapi bukan suasana dan keramahtamahan penduduk Desa itu yang mengusik rasa ingin tahu saya, ada sebuah bangunan kecil seperti masjid tanpa kubah dan pengeras suara seperti yang sering saya temui yang menyita perhatian saya. Ketika jam tangan teman saya menunjukkan pukul 12.15 wib terdengar adzan dzuhur, saya pun mencari sumber suara adzan tersebut. Awalnya saya berpikir suara itu berasal dari bangunan yang saya anggap masjid tersebut, ternyata suara itu berasal dari sebuah masjid diatas base camp pendakian.

Pendakian pun segera dimulai dengan melakukan observasi peta jalur terlebih dahulu. Pada peta tersebut ternyata bangunan yang saya kira masjid adalah sebuah gereja. Awalnya saya berpikir tak mungkin ada sebuah bangunan peribadatan selain masjid/mushola di desa ini, ternyata dugaan saya salah, Desa Kedakan adalah Desa yang majemuk. Sesaat kemudian saya teringat pada sebuah spanduk berisikan kecaman yang mengatasnamakan warga atas pendirian sebuah gereja, spanduk tersebut terpasang sangat jelas disebuah jalan perbatasan Jakarta-Depok, cukup 5 menit dari rumah saya. Dua hal tersebut menarik untuk saya cermati ditengah hujan yang semakin deras di Desa Kedakan.

Di Sebuah tempat yang kita anggap terbelakang serta terpencil dari “peradaban” kota. Mereka mengajarkan saya arti toleransi tanpa harus menggurui apa definisi dari toleransi dan prinsip-prinsip toleransi. Mereka telah melakukannya lebih dahulu tanpa harus berteriak lantang atas nama HAM atau bahkan sebelum para pelaku liberalisasi agama mencoba menanamkan arti toleransi yang kebablasan. Disini mereka melakukannya tanpa harus bersinggungan, bakar-membakar, atau bahkan intimidasi. Rasanya kita sebagai orang yang tinggal di kota dan pihak pemberi label berpendidikan dan terbelakang harus belajar arti pentingnya toleransi. Mungkin ada baiknya bagi yang muslim untuk kembali meresapi arti dari potongan surat Al Kaafirun ”untukmu agama mu dan untukku lah agama ku”. Rasanya sudah sangat jelas tanpa harus ditawar lagi, Islam pun mengajarkan tentang toleransi, lalu kenapa ada yang mengatasnamakan agama untuk menindas kelompok lain? Apakah keimanan kita terkikis dengan adanya sebuah bangunan peribadatan agama lain? Mungkin hanya diri kita yang bisa menjawabnya.

No comments:

Post a Comment

indonesian supporters